Al-Anbiya Ayat 7: Prinsip Universal Kewajiban Mencari Ilmu dari Ahlinya

Surah Al-Anbiya, yang dinamakan berdasarkan plural dari "Nabi" (Para Nabi), adalah surah ke-21 dalam Al-Qur'an. Surah ini secara mendalam membahas kisah-kisah para utusan Allah, menegaskan prinsip Tauhid, dan membuktikan kebenaran Hari Kebangkitan. Ayat-ayat dalam surah ini diturunkan di Mekkah, dalam periode ketika penolakan kaum musyrikin terhadap risalah kenabian sedang memuncak.

Penolakan utama yang dihadapi oleh Nabi Muhammad ﷺ, sama seperti penolakan yang dihadapi oleh nabi-nabi sebelumnya, adalah penolakan terhadap kenabian dari seorang manusia biasa. Kaum musyrikin merasa aneh, mengapa Allah tidak mengutus malaikat sebagai utusan, atau setidaknya seorang manusia yang dikelilingi kemewahan dan kekuasaan. Mereka mempertanyakan kredibilitas seorang nabi yang makan, minum, dan berjalan di pasar seperti manusia lainnya.

Di tengah keraguan dan tuntutan yang tidak masuk akal ini, Allah ﷻ menurunkan sebuah ayat yang berfungsi bukan hanya sebagai jawaban temporer bagi kaum musyrikin Mekkah, tetapi juga sebagai pondasi epistemologi dan metodologi keilmuan universal bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Ayat tersebut adalah Surah Al-Anbiya ayat 7:

وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۖ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Dan Kami tidak mengutus sebelummu, melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka tanyakanlah kepada Ahl Adz-Dzikr (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Anbiya: 7)

Ayat ini memuat dua poin sentral yang saling terkait: pertama, penegasan sejarah kenabian bahwa semua utusan Allah adalah manusia; dan kedua, sebuah perintah imperatif universal: kewajiban untuk bertanya kepada Ahli Zikir (Ahl Adz-Dzikr) atau orang-orang yang berilmu, ketika dihadapkan pada ketidaktahuan. Prinsip ini adalah kunci untuk mengatasi keraguan, membangun kepastian, dan menegakkan otoritas keilmuan dalam setiap aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.

Ilustrasi Mencari Jawaban Sebuah ilustrasi buku terbuka (simbol ilmu) dengan tanda tanya dan sinar cahaya di atasnya, melambangkan pencarian jawaban dan pencerahan melalui pengetahuan. ?

Analisis Lafzi dan Tafsir Kata Kunci

Untuk memahami kedalaman QS 21:7, kita perlu mengurai setiap komponen lafazhnya, yang membawa makna syar'i dan implikasi hukum (fiqh) yang signifikan. Ayat ini tidak hanya sebuah narasi, melainkan sebuah instruksi metodologis.

1. Penegasan Sejarah: وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا (Kami tidak mengutus sebelummu melainkan laki-laki)

Bagian pertama ayat ini menanggapi keraguan kaum musyrikin yang tidak percaya bahwa seorang manusia bisa menjadi rasul. Allah menegaskan bahwa pola (sunnatullah) dalam kenabian sejak masa Nuh, Ibrahim, Musa, hingga Isa, adalah selalu mengutus manusia (laki-laki). Para rasul adalah manusia biasa agar mereka dapat menjadi teladan yang realistis (uswatun hasanah). Mereka mengalami tantangan hidup, makan, minum, berkeluarga, dan berjuang, sehingga petunjuk mereka dapat dipraktikkan oleh umat manusia secara umum. Jika rasul adalah malaikat, manusia akan beralasan bahwa ajaran tersebut mustahil dipenuhi karena keterbatasan fisik dan naluri manusiawi.

Penegasan ini membasmi ide-ide eksklusif mengenai kenabian yang menuntut keajaiban fisik atau status supranatural yang permanen. Rasul adalah jembatan penghubung antara realitas Ilahi (wahyu) dan realitas insani (pelaksanaan).

2. Perintah Imperatif: فَسْـَٔلُوٓا۟ (Fas’aluu - Maka Tanyakanlah)

Kata Fas’aluu adalah bentuk perintah (fi'il amr) yang menunjukkan kewajiban (wujub). Ketika perintah Allah datang dalam bentuk yang jelas, ia membawa implikasi hukum yang serius. Ini bukan sekadar anjuran, melainkan suatu keharusan. Kewajiban bertanya ini muncul ketika prasyarat berikutnya terpenuhi: ketidaktahuan (in kuntum laa ta’lamuun).

Perintah ini secara implisit mengecam dua sikap negatif: pertama, sikap sombong yang menolak mencari tahu meskipun berada dalam kebodohan; dan kedua, sikap fanatisme buta yang menerima doktrin tanpa dasar ilmu, padahal ilmu tersebut tersedia pada ahlinya. Fas’aluu adalah antitesis dari taklid buta dan kesombongan intelektual.

3. Pihak yang Dituju: أَهْلَ ٱلذِّكْرِ (Ahl Adz-Dzikr - Ahli Zikir/Ilmu)

Ini adalah inti dari ayat tersebut dan sumber perdebatan sekaligus interpretasi yang luas. Secara harfiah, Dzikr berarti "mengingat", "peringatan", atau "sebutan". Namun, dalam konteks Al-Qur'an, kata Dzikr seringkali memiliki makna yang lebih spesifik:

Namun, para ulama ushul fiqh (prinsip hukum Islam) sepakat bahwa meskipun konteks penurunan ayat (sababun nuzul) mungkin spesifik (yaitu Ahli Kitab), hukumnya adalah umum (al-ibrah bi umumil lafzhi laa bi khushushis sabab). Artinya, petunjuk untuk bertanya kepada Ahl Adz-Dzikr adalah prinsip universal yang berlaku kapan pun dan di mana pun, mencakup semua orang yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai suatu masalah, baik ilmu agama maupun ilmu dunia.

4. Prasyarat: إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (In Kuntum Laa Ta’lamuun - Jika Kamu Tidak Mengetahui)

Ini adalah syarat mutlak yang mendasari perintah bertanya. Pertanyaan hanya diwajibkan ketika seseorang berada dalam kondisi tidak tahu atau ragu. Kondisi ini menegaskan pentingnya pengakuan terhadap kebodohan diri. Seseorang yang merasa sudah tahu atau enggan mengakui ketidaktahuan tidak akan pernah mencari ilmu. Ini adalah etika pertama seorang penuntut ilmu: kerendahan hati untuk mengakui batasan diri.

Kondisi ini juga mengecualikan mereka yang sudah memiliki ilmu yang memadai. Mereka yang telah mencapai derajat ijtihad atau pemahaman yang kokoh tidak diwajibkan (bahkan dilarang) untuk mengikuti (taqlid) secara buta. Ayat ini membedakan antara posisi penuntut ilmu (mutakallif) dan posisi mujtahid (ahli ilmu).

Perluasan Makna 'Ahl Adz-Dzikr' dan Otoritas Keilmuan

Interpretasi mengenai siapa Ahl Adz-Dzikr telah berkembang seiring perkembangan zaman dan kompleksitas permasalahan umat. Penerapan ayat 7 QS Al-Anbiya menjadi pilar utama dalam metodologi pengambilan hukum Islam (Fiqh) dan prinsip dasar dalam pendidikan.

A. Ahl Adz-Dzikr dalam Ranah Keagamaan (Ulama dan Mujtahid)

Dalam konteks agama, Ahl Adz-Dzikr adalah mereka yang mumpuni dalam ilmu syariat, meliputi tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu bahasa Arab. Mereka adalah ulama yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah dengan metodologi yang sahih. Mereka bertindak sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiya). Ketika umat Islam dihadapkan pada masalah keagamaan kontemporer, seperti fatwa terkait transaksi keuangan, teknologi, atau etika medis, umat diwajibkan merujuk pada Majelis Ulama atau lembaga fatwa yang kredibel.

Kriteria utama Ahl Adz-Dzikr dalam agama adalah: keilmuan yang mendalam, kehati-hatian (wara'), dan integritas moral (amanah). Keilmuan tanpa integritas dapat menyesatkan, dan integritas tanpa keilmuan dapat menimbulkan bid'ah.

B. Implikasi Fiqhiyyah: Dasar Hukum Taqlid

Ayat "Fas’aluu Ahl Adz-Dzikr in kuntum laa ta’lamuun" sering dijadikan dasar utama (dalil) bagi kewajiban Taqlid (mengikuti pendapat ulama/imam mazhab) bagi orang awam (muqallid). Prinsipnya jelas: jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menafsirkan Al-Qur'an dan hadis secara langsung (ijtihad), maka kewajiban syar'i-nya adalah merujuk pada pendapat para ahli yang telah melakukan ijtihad tersebut.

Ini adalah mekanisme rasional dalam Islam untuk menjaga keteraturan hukum dan mencegah kekacauan dalam pemahaman agama. Tanpa taqlid yang sehat, setiap individu akan mencoba menafsirkan teks suci sendiri tanpa bekal ilmu yang memadai, yang justru akan menjauhkan mereka dari pemahaman yang benar.

C. Perluasan Makna Kontemporer (Spesialisasi Ilmu Dunia)

Seiring modernisasi dan spesialisasi ilmu pengetahuan, para ulama kontemporer sepakat bahwa prinsip Ahl Adz-Dzikr melampaui batas ilmu agama saja. Prinsip ini adalah perintah untuk menghormati spesialisasi dan otoritas keilmuan dalam setiap bidang. Jika kita tidak mengetahui masalah kesehatan, kita wajib bertanya kepada dokter (ahl adz-dzikr dalam bidang kedokteran). Jika kita tidak mengetahui masalah teknik sipil, kita wajib bertanya kepada insinyur yang kompeten.

Ini mencerminkan prinsip Islam bahwa ilmu adalah kesatuan, dan mencari kebenaran adalah kewajiban universal. Mengabaikan saran ahli dalam bidang dunia (misalnya menolak vaksinasi padahal telah terbukti ilmiah, atau membangun rumah tanpa konsultasi ahli struktur) adalah sama dengan melanggar prinsip yang tersirat dalam ayat ini, karena hal itu berpotensi menyebabkan kerusakan (mafsadah) yang dilarang dalam syariat.

Dalam pandangan Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dan ulama modern lainnya, Ahl Adz-Dzikr adalah konsep multidimensional. Ketika berhadapan dengan masalah fikih modern yang melibatkan sains dan teknologi (seperti penentuan awal bulan atau masalah kloning), Ahl Adz-Dzikr sejati adalah gabungan dari ahli fikih (yang memahami hukum syariat) dan ahli sains (yang memahami realitas objek hukum tersebut).

Dengan demikian, ayat 7 Surah Al-Anbiya tidak hanya mengajarkan tauhid risalah, tetapi juga mengajarkan tauhid ilmu: bahwa otoritas ilmu harus diakui dan dicari, tidak peduli apa pun subjeknya, selama ia bertujuan untuk menghilangkan kebodohan dan mencapai kebenaran.

Konsekuensi Mengabaikan dan Etika Mencari Ilmu

Ayat 7 ini memberikan peringatan halus mengenai bahaya hidup dalam kebodohan dan menolak otoritas keilmuan yang sah. Allah tidak hanya memerintahkan, tetapi juga menunjukkan cara yang paling efektif untuk memperoleh kepastian.

A. Bahaya Mengabaikan 'Ahl Adz-Dzikr'

Mengabaikan perintah untuk bertanya kepada ahli akan membawa konsekuensi spiritual dan sosial yang serius:

  1. Sesat dalam Akidah: Dalam masalah akidah (keyakinan), bertanya kepada orang yang tidak berilmu atau menafsirkan sendiri tanpa dasar ilmu akan mengarah pada penyimpangan, bid'ah, dan kesesatan.
  2. Kekacauan Sosial (Fawdha): Jika setiap orang merasa berhak berpendapat tanpa kompetensi, maka akan terjadi kekacauan sosial. Dalam ilmu kedokteran, hal ini berakibat fatal; dalam ilmu agama, hal ini berakibat pada perpecahan umat.
  3. Keangkuhan Intelektual: Seseorang yang menolak bertanya biasanya didorong oleh keangkuhan. Sikap ini berlawanan dengan semangat Islam yang menuntut kerendahan hati dalam mencari ilmu.

Oleh karena itu, kewajiban bertanya bukanlah sekadar formalitas, melainkan mekanisme perlindungan diri dari kesalahan fatal, baik di dunia maupun di akhirat.

B. Adab (Etika) Bertanya dan Menerima Ilmu

Prinsip "Fas'aluu" juga mencakup adab atau etika yang harus dipenuhi oleh penanya:

Ilustrasi Dzikr dan Wahyu Sebuah ilustrasi hati yang diterangi cahaya Ilahi, melambangkan konsep dzikr (mengingat Allah) yang menjadi sumber ilmu dan petunjuk. DZIKR

C. Ilmu sebagai Jembatan menuju Kedamaian

Ayat ini pada dasarnya adalah perintah untuk kembali kepada rasionalitas dan otoritas. Ketika keraguan datang—apakah Nabi Muhammad benar seorang rasul?—jawabannya bukan melalui emosi atau takhayul, tetapi melalui data sejarah dan wahyu sebelumnya yang dikuasai oleh Ahl Adz-Dzikr. Prinsip ini memastikan bahwa agama ini tegak di atas ilmu (pengetahuan), bukan di atas dugaan (zhan).

Pengetahuan yang diperoleh melalui Ahl Adz-Dzikr akan memunculkan ketenangan dan keyakinan (yaqin). Sebaliknya, keraguan (syakk) adalah pintu masuk bagi was-was dan kelemahan spiritual. Dengan menghilangkan kebodohan melalui pertanyaan, umat Islam mencapai kematangan spiritual dan intelektual.

Integrasi Ilmu dan Iman: Membangun Umat Berbasis Pengetahuan

Ayat Al-Anbiya 7 tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan visi Islam tentang ilmu. Ayat ini menjadi fondasi bagi institusi pendidikan dan otoritas keagamaan dalam peradaban Islam. Ia menegaskan bahwa dalam Islam, tidak ada ruang bagi dualisme pengetahuan yang absolut. Semua ilmu, baik yang berkaitan dengan syariat maupun alam semesta (kauniyah), harus dicari dari ahlinya.

1. Keunggulan Ulama dalam Tinjauan Al-Qur'an

Kewajiban merujuk kepada Ahl Adz-Dzikr secara otomatis mengangkat derajat orang yang berilmu. Ayat lain menegaskan hal ini, seperti QS Az-Zumar: 9, "Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'" dan QS Al-Mujadilah: 11, di mana Allah menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang-orang yang beriman dan berilmu. Ayat Al-Anbiya 7 memberikan fungsi praktis bagi tingginya derajat tersebut: mereka adalah rujukan wajib bagi umat.

Tugas Ahl Adz-Dzikr bukan hanya menjawab pertanyaan, tetapi juga menjadi penjaga (huffazh) dan penyebar (nasyir) ilmu. Mereka bertanggung jawab menyampaikan kebenaran dengan jujur dan jelas, memenuhi amanah keilmuan yang mereka emban.

2. Peran Sentral Ilmu Ushul Fiqh

Dalam ilmu ushul fiqh, ayat ini berperan penting dalam bab ijtihad, taqlid, dan istishab. Ia menjadi dalil eksplisit bahwa:

  1. Kewajiban Ijtihad berlaku bagi mereka yang mampu.
  2. Kewajiban Taqlid berlaku bagi mereka yang tidak mampu.

Hubungan antara mujtahid (ahl adz-dzikr) dan muqallid (yang bertanya) adalah hubungan hierarkis yang diatur oleh syariat. Ini memastikan bahwa hukum-hukum Allah diterapkan dengan metodologi yang ketat, bukan berdasarkan asumsi atau hawa nafsu.

Perintah bertanya kepada Ahl Adz-Dzikr juga menekankan pentingnya sanad (rantai transmisi ilmu). Ahl Adz-Dzikr yang sejati adalah mereka yang menerima ilmunya melalui sanad yang bersambung, terutama dalam ilmu tafsir dan hadis, memastikan keaslian dan kemurnian sumber pengetahuan tersebut. Ilmu yang dipelajari secara otodidak tanpa bimbingan ahli (tanpa sanad) seringkali rentan terhadap kesalahan interpretasi, sebuah risiko yang dihindari oleh perintah "Fas'aluu."

3. Menghadapi Kompleksitas Modern

Di era informasi saat ini, di mana setiap orang dapat mempublikasikan konten dan mengaku ahli, perintah "Fas’aluu Ahl Adz-Dzikr" menjadi semakin krusial. Umat dihadapkan pada banjir informasi (infodemik) dan keraguan. Ayat ini mengajarkan umat untuk membedakan antara informasi mentah (data) dan pengetahuan yang teruji (hikmah) dari sumber yang terpercaya (Ahl Adz-Dzikr).

Penerapan kontemporer dari ayat ini meliputi:

Ayat 7 Surah Al-Anbiya adalah peta jalan (khariṭah ṭarīq) bagi seorang Muslim yang ingin menjalani hidup dengan kepastian. Ia adalah perintah untuk bergerak dari kebodohan menuju pengetahuan, dari keraguan menuju keyakinan, melalui bimbingan orang-orang yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mengingat (Dzikr) dan memahami ajaran Ilahi.

Kedalaman Hikmah Pertanyaan dan Isu Khilafiyyah

Prinsip 'bertanya' yang diabadikan dalam ayat 7 ini tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pengambilan hukum, tetapi juga sebagai motor penggerak peradaban intelektual. Sejarah peradaban Islam dipenuhi dengan karya-karya monumental yang lahir dari pertanyaan yang cerdas dan mendalam.

A. Mengatasi Isu Khilafiyyah (Perbedaan Pendapat)

Ketika Ahl Adz-Dzikr berbeda pendapat (khilafiyyah), apa yang harus dilakukan oleh orang awam? Ayat ini tetap memberikan panduan. Kewajiban bertanya masih berlaku, namun dalam kondisi khilafiyyah, orang awam diperbolehkan memilih salah satu pendapat dari ulama yang dianggap paling kuat dalilnya (tarjih) atau yang paling sesuai dengan kondisi (taysir), asalkan kedua ulama tersebut memenuhi kriteria Ahl Adz-Dzikr. Penting untuk diingat bahwa khilafiyyah yang sah adalah khilafiyyah yang berakar pada metodologi keilmuan yang benar, bukan perbedaan yang muncul dari kebodohan atau hawa nafsu.

Sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat (lapang dada terhadap khilaf) di kalangan Ahl Adz-Dzikr adalah cermin dari kekayaan metodologi Islam, dan orang awam diwajibkan untuk menghormati khilaf tersebut tanpa merendahkan salah satu pihak.

B. Tafsir Dzikr sebagai Al-Qur'an dan Implikasinya

Jika kita kembali pada tafsir bahwa Dzikr merujuk secara khusus kepada Al-Qur'an (seperti dalam QS Al-Hijr: 9), maka "Ahl Adz-Dzikr" adalah para penghafal, penjaga, dan penafsir Al-Qur'an. Ini memberikan penekanan khusus pada ilmu tafsir. Dalam pandangan ini, pertanyaan harus selalu dikembalikan kepada bagaimana Al-Qur'an menanggapi masalah tersebut. Ini menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah sumber utama otoritas, dan Ahl Adz-Dzikr hanyalah perantara yang membantu umat memahami kedalaman firman Ilahi.

Namun, para ulama sepakat bahwa pemahaman terhadap Al-Qur'an (Dzikr) mustahil dilakukan tanpa pengetahuan mengenai Sunnah Nabi Muhammad ﷺ, yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) dari Al-Qur'an. Oleh karena itu, Ahl Adz-Dzikr harus pula menjadi Ahl Al-Sunnah (Ahli Sunnah), yaitu mereka yang menguasai dan mengamalkan hadis Nabi.

C. Pentingnya Konsultasi Berkelanjutan

Perintah "Fas'aluu" tidak bersifat sekali seumur hidup. Ilmu terus berkembang, masalah baru terus bermunculan, dan pemahaman seseorang bisa berubah. Oleh karena itu, kewajiban bertanya kepada ahli adalah proses yang berkelanjutan, sebuah budaya konsultasi dan pembelajaran seumur hidup. Setiap kali terjadi perkembangan teknologi baru, dilema etika baru, atau permasalahan sosial yang unik, umat diwajibkan untuk kembali kepada Ahl Adz-Dzikr (yang relevan dengan bidang tersebut) untuk mencari solusi yang sesuai dengan syariat.

Misalnya, dalam isu-isu bioteknologi, Ahl Adz-Dzikr harus melakukan penelitian mendalam, berdialog dengan ahli biologi, dan kemudian merumuskan fatwa yang menyeimbangkan antara kemaslahatan (maslahah) dan pencegahan kerusakan (mafsadah), berdasarkan perintah Allah untuk mencari ilmu dari ahlinya.

Kesimpulan: Ayat Fondasi Metodologi Islam

Surah Al-Anbiya ayat 7, meski awalnya diturunkan untuk menanggapi keraguan kaum musyrikin terhadap kenabian Muhammad ﷺ, kini berdiri sebagai salah satu pilar metodologi dan epistemologi terpenting dalam Islam. Ayat ini mengajarkan bahwa akidah yang benar dan kehidupan yang tertata harus dibangun di atas ilmu dan otoritas yang diakui.

Empat pilar utama yang terkandung dalam ayat ini adalah:

  1. Penegasan Risalah Insaniyyah: Para nabi adalah manusia, memudahkan ketauladanan.
  2. Kewajiban Epistemologis: Perintah imperatif untuk mencari ilmu (bertanya).
  3. Identifikasi Sumber Otoritas: Ilmu harus diambil dari Ahl Adz-Dzikr, yang mencakup ulama syariat, serta ahli dalam bidang ilmu pengetahuan umum.
  4. Prasyarat Keilmuan: Mencari ilmu hanya diwajibkan ketika seseorang berada dalam kondisi tidak mengetahui.

Dengan memegang teguh prinsip "Fas’aluu Ahl Adz-Dzikr in kuntum laa ta’lamuun," umat Islam dapat menghindari kesesatan, menjaga kesatuan pemahaman hukum, dan memastikan bahwa setiap langkah kehidupan, baik spiritual maupun material, didasarkan pada fondasi pengetahuan yang kokoh dan kebenaran yang bersumber dari wahyu Ilahi dan akal sehat yang dibimbing oleh syariat.

Oleh karena itu, kewajiban bertanya bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kebijaksanaan dan ketaatan tertinggi kepada Allah ﷻ yang telah memerintahkan kita untuk senantiasa mencari cahaya ilmu dari para pembawa obor pengetahuan. Ayat ini menjadi seruan abadi bagi umat untuk menjadikan ilmu sebagai panduan utama, dan menjadikan ahli ilmu sebagai rujukan terpercaya dalam setiap persimpangan keraguan dan ketidaktahuan.

Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Kehati-hatian tersebut diwujudkan dengan tidak bertindak berdasarkan perkiraan semata, melainkan mencari informasi dan fatwa yang terverifikasi. Proses ini melibatkan pengakuan bahwa keterbatasan manusia adalah fakta, dan bahwa kerjasama antar individu—seorang yang tahu (ahli) memberikan jawaban kepada yang tidak tahu (penanya)—adalah skema Ilahi untuk membangun masyarakat yang tercerahkan dan harmonis.

Jika kita merenungkan kembali konteks awal ayat ini, kaum musyrikin menuntut bukti supranatural untuk membenarkan risalah. Allah memberikan jawaban yang jauh lebih mendalam: Bukti sejati adalah ilmu dan sejarah. Buktikan keraguanmu dengan bertanya kepada mereka yang memiliki data sejarah dan pengetahuan kitab suci. Ini adalah pergeseran fokus dari mukjizat fisik menjadi mukjizat intelektual. Perintah untuk bertanya menjadi mukjizat metodologis Al-Qur'an itu sendiri, yang memberikan kerangka kerja bagi pencarian kebenaran yang tak lekang dimakan waktu.

Prinsip Ahl Adz-Dzikr juga menegaskan nilai akuntabilitas dalam ilmu. Para ahli harus bertanggung jawab atas jawaban mereka, dan umat harus bertanggung jawab atas siapa yang mereka jadikan rujukan. Sebuah tatanan ilmu yang sehat hanya dapat terwujud ketika kedua pihak—penanya dan penjawab—memenuhi adab dan kriteria syar'i masing-masing. Tanpa prinsip ini, pintu ijtihad terbuka lebar bagi yang tidak kompeten, dan umat akan tersesat di lautan fatwa yang kontradiktif dan menyesatkan.

Inilah keagungan Surah Al-Anbiya ayat 7, sebuah ayat pendek dengan implikasi yang membentang dari masalah akidah mendasar hingga kompleksitas kehidupan modern. Ia adalah fondasi bagi setiap Muslim yang ingin menjalani hidup bukan sebagai pengikut keraguan, melainkan sebagai penuntut keyakinan yang berbasis pada cahaya ilmu yang terang benderang.

Dalam konteks pengembangan peradaban, implementasi ayat ini telah melahirkan berbagai disiplin ilmu (fardhu kifayah), di mana sekelompok umat mendedikasikan diri untuk menjadi Ahl Adz-Dzikr dalam bidang tertentu. Ini memastikan bahwa kebutuhan kolektif umat terpenuhi tanpa semua orang harus menjadi ahli dalam segala hal. Kita membutuhkan ahli fikih, ahli kedokteran, ahli militer, dan ahli teknologi, yang semuanya pada hakikatnya adalah Ahl Adz-Dzikr dalam spesialisasi masing-masing.

Kewajiban 'Fas'aluu' mendorong umat Islam untuk menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam pendidikan dan penelitian, karena tanpa menghasilkan Ahl Adz-Dzikr yang baru dan kompeten, umat akan kehilangan otoritas keilmuan mereka dan terpaksa bergantung sepenuhnya pada peradaban lain. Oleh karena itu, membangun institusi pendidikan yang kuat, yang mampu mencetak ulama dan ilmuwan yang berintegritas, adalah perwujudan praktis dari perintah Ilahi ini.

Ayat ini juga menjadi penawar terhadap penyakit mentalitas ‘tahu segalanya’ yang berbahaya. Dalam psikologi kognitif, hal ini dikenal sebagai efek Dunning-Kruger, di mana individu yang kurang kompeten cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka. Islam, melalui QS 21:7, secara eksplisit mengajarkan umat untuk menanggulangi arogansi intelektual ini dengan mengakui ketidaktahuan dan mencari bimbingan dari yang lebih berpengalaman dan berilmu.

Penyakit kebodohan adalah penyakit yang mematikan bagi umat. Ia merusak akidah, memecah belah persatuan, dan menghambat kemajuan duniawi. Dengan berpegang teguh pada prinsip 'Fas’aluu Ahl Adz-Dzikr', umat Islam memastikan bahwa setiap keputusan besar—mulai dari memilih pemimpin, menentukan hukum waris, hingga memutuskan prosedur medis—didasarkan pada panduan terbaik yang tersedia, yang berasal dari sumber yang paling kredibel. Inilah jalan menuju keselamatan dan kemuliaan, sebuah jalan yang dituntun oleh ilmu, yang dijaga oleh para ahli ilmu, dan yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam.

Perluasan makna Ahl Adz-Dzikr kepada ahli sains modern tidak berarti mencampuradukkan ilmu agama dan ilmu umum secara sembarangan, melainkan menunjukkan bahwa syariat Islam mencakup dan mengatur seluruh aspek kehidupan. Ketika Ahl Adz-Dzikr di bidang fikih menghadapi masalah yang kompleks, mereka wajib mendengarkan Ahl Adz-Dzikr di bidang teknik atau biologi, sehingga keputusan yang dihasilkan adalah keputusan syar’i yang realistis dan kontekstual. Fikih tanpa realitas (fiksi) adalah tidak aplikatif, dan realitas tanpa fikih adalah tanpa petunjuk (hawa nafsu). Keseimbangan inilah yang dijamin oleh prinsip 'Fas’aluu'.

Akhir kata, kewajiban bertanya kepada ahli ilmu adalah manifestasi dari tawakal (penyerahan diri) yang dibarengi dengan usaha (ikhtiar) rasional. Kita bertawakal kepada Allah atas hasil, namun kita berikhtiar dengan mengikuti panduan yang paling benar, yaitu panduan dari Ahl Adz-Dzikr. Sebuah pengajaran yang sempurna dari Al-Qur’an tentang bagaimana menjalani hidup yang bermakna dan terarah.

🏠 Kembali ke Homepage