Surah Al-Adiyat (سورة العاديات) adalah salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an yang sangat padat makna, memberikan peringatan keras mengenai hakikat psikologi spiritual manusia. Nama surah ini diambil dari kata pembuka, Al-Adiyat, yang artinya adalah kuda-kuda yang berlari kencang. Meskipun awalnya terlihat seperti surah yang hanya membahas peperangan atau kuda, intinya jauh lebih dalam: ia berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan fenomena fisik (kuda yang patuh) dengan penyakit spiritual manusia (ingkar dan tamak).
Secara umum, Al-Adiyat menjelaskan tiga poin utama yang saling terkait:
Terdapat perbedaan pendapat mengenai klasifikasi Al-Adiyat, apakah ia termasuk surah Makkiyah (diturunkan sebelum Hijrah) atau Madaniyah (diturunkan setelah Hijrah). Mayoritas ulama, termasuk Ibn Mas’ud dan Jabir, cenderung menggolongkannya sebagai Makkiyah. Karakteristik Makkiyah ini terlihat jelas dari fokusnya pada dasar-dasar akidah, khususnya Hari Kebangkitan (Al-Qiyamah), pertanggungjawaban individu, dan kritik terhadap sifat buruk manusia seperti ketidakmampuan bersyukur.
Jika ia Makkiyah, pesan utamanya adalah membangun kesadaran rohani umat Islam awal di tengah tekanan jahiliyah agar mereka tidak terjebak dalam materialisme duniawi. Namun, ada riwayat kuat, terutama dari Ibn Abbas, yang menyebutkan bahwa surah ini turun dalam konteks peperangan tertentu, yaitu ekspedisi militer ke Dhat as-Salasil. Jika ini benar, maka ia Madaniyah, dan fokusnya adalah mengingatkan para prajurit yang kembali dari pertempuran agar tidak lupa diri karena harta rampasan perang (ghanimah).
Namun, terlepas dari perbedaan waktu turunnya, makna yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi: pengingat tentang tujuan hidup sejati dan bahaya ketamakan.
Surah ini hanya terdiri dari sebelas ayat pendek, namun setiap ayatnya mengandung sumpah, kritik, dan janji yang sangat kuat.
Kata kunci di sini adalah Al-Adiyat (kuda-kuda yang berlari) dan Dhabhan (suara deru napas kuda ketika berlari sangat cepat). Allah memulai surah ini dengan sumpah atas makhluk-makhluk yang patuh dan berjuang di jalan-Nya, yaitu kuda-kuda perang yang sedang menunaikan tugas. Sumpah ini memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kerja keras, kecepatan, dan kepatuhan dalam menjalankan perintah, terutama dalam konteks perjuangan (jihad).
Al-Muriyaat berarti yang menyalakan atau memantik. Qadhan berarti percikan api. Ini menggambarkan kondisi medan perang pada malam hari atau di tempat berbatu, di mana kuku kuda yang terbuat dari besi beradu dengan batu, menimbulkan percikan api. Ini adalah gambaran visual dan auditori tentang kegigihan. Kuda-kuda itu berlari tanpa henti, bahkan menghasilkan api dari kakinya—simbol energi yang luar biasa, kesiapan, dan tanpa rasa lelah dalam mencapai tujuan.
Al-Mughirat berarti penyerbu atau penyerang. Shubhan berarti waktu Subuh. Serangan Subuh atau fajar adalah strategi perang yang paling efektif, memanfaatkan kegelapan menjelang pagi untuk elemen kejutan. Ayat ini menunjukkan waktu paling krusial dalam perjuangan. Makna mendalamnya adalah bahwa ketaatan dan perjuangan tidak mengenal waktu santai; ia harus dilakukan di saat manusia lain masih tertidur atau kurang waspada.
Atharna berarti membangkitkan atau menerbangkan, dan Naq’an berarti debu atau asap tebal. Lari kencang kuda-kuda tersebut menimbulkan awan debu tebal yang menyelimuti medan. Ini adalah konsekuensi dari kecepatan dan aksi yang gigih. Debu ini bukan hanya polusi, melainkan bukti nyata dari usaha yang telah dicurahkan. Setiap perjuangan akan selalu menyisakan ‘debu’—hasil nyata yang tidak bisa disembunyikan.
Wasathna berarti masuk ke tengah-tengah. Setelah semua persiapan dan kecepatan, tujuan akhirnya tercapai: masuk ke pusat barisan musuh (Jam’an). Lima ayat pertama ini berfungsi sebagai intro yang sangat kuat, menyajikan pemandangan dramatis tentang ketaatan, energi, dan dedikasi seekor binatang (kuda) yang melaksanakan perintah tanpa pamrih.
Setelah bersumpah dengan kuda-kuda yang patuh, Allah beralih fokus kepada manusia, memberikan perbandingan kontras yang tajam.
Inilah inti dari surah ini. Kata kuncinya adalah Al-Kanuud. Ini bukan sekadar tidak bersyukur (seperti *kafir*), melainkan derajat ingkar yang lebih parah, yang melibatkan pengabaian total terhadap kebaikan yang telah diterima. Ulama tafsir mendefinisikan *Kanuud* sebagai seseorang yang menghitung-hitung musibahnya dan melupakan nikmat-nikmat Allah yang telah diterimanya. Ia adalah sifat batiniah yang mengeringkan hati, membuat seseorang menjadi gersang spiritual, layaknya tanah tandus yang tidak dapat menumbuhkan apa pun.
Penyakit *Kunuud* timbul karena manusia seringkali sibuk dengan diri sendiri dan ambisi duniawinya, sehingga lupa bahwa setiap tarikan napas dan setiap rezeki adalah pinjaman dari Sang Pencipta. Perbandingan dengan kuda-kuda yang berlari kencang tanpa pamrih (lima ayat pertama) menjadi sangat menyakitkan di sini: seekor binatang saja mampu menunjukkan kepatuhan dan dedikasi, sementara manusia, yang diberi akal dan spiritualitas, justru memilih jalan ingkar.
Al-Kanuud adalah dosa batin yang merusak hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama). Menurut Imam Mujahid, Al-Kanuud adalah orang yang pelit terhadap apa yang telah dia dapatkan dan suka mengeluh tentang apa yang dia miliki. Ini adalah kombinasi dari sifat serakah, tidak mengakui sumber nikmat, dan fokus pada kekurangan. Sifat ini dihidupkan oleh dua hal utama:
Ayat ini adalah peringatan fundamental bagi setiap orang beriman bahwa kecenderungan default manusia adalah ingkar, kecuali ia melawan kecenderungan ini dengan kesadaran dan zikir yang terus menerus. Tanpa perjuangan spiritual, manusia akan otomatis jatuh ke dalam jurang *Kunuud*.
Ayat ini memberikan penekanan luar biasa. Allah tidak hanya menuduh manusia ingkar, tetapi menyatakan bahwa manusia itu sendiri adalah saksi atas keangkuhan dan ingkar dirinya. Ini bisa diartikan dalam dua cara:
Ayat ini menekankan prinsip akuntabilitas pribadi yang mendalam. Tidak ada alasan; Anda tahu siapa diri Anda, bahkan jika Anda menyembunyikannya dari seluruh dunia.
Penyebab utama dari *Al-Kanuud* (ingkar) diuraikan di sini: kecintaan yang berlebihan terhadap Al-Khair. Dalam konteks ayat ini, *Al-Khair* berarti harta, kekayaan, atau barang duniawi. Meskipun secara harfiah *Al-Khair* berarti kebaikan, di sini ia digunakan dalam arti sinis untuk menunjukkan objek yang paling dicari manusia—kekayaan.
Kata Lasyadiid (sangat keras, kuat, berlebihan) menunjukkan intensitas hasrat tersebut. Manusia mencintai harta secara naluriah, namun ayat ini mengkritik kecintaan yang melampaui batas, yang mengalahkan akal sehat dan prinsip keimanan. Kecintaan ini membuat manusia pelit, enggan berinfak, dan bahkan rela mengorbankan prinsip-prinsip spiritual demi menambah pundi-pundi kekayaannya. Cinta harta yang berlebihan inilah yang memutus jembatan syukur dan menumbuhkan sifat *Kanuud*.
Setelah mengkritik sifat manusia, surah ini beralih ke solusi dan peringatan akhir, yaitu Hari Kiamat, hari di mana semua rahasia tersembunyi akan diungkap.
Peringatan ini berbentuk pertanyaan retorika yang keras: Apakah manusia lupa akan hari kebangkitan? Bu’tsira berarti dibongkar, dikeluarkan, atau dihamburkan. Al-Qubuur adalah kuburan. Ayat ini merujuk pada kebangkitan fisik dari kematian, ketika jasad dihidupkan kembali dan dikeluarkan dari kuburnya untuk diadili.
Kesadaran akan kebangkitan adalah satu-satunya obat paling efektif untuk mengatasi penyakit *Kanuud* dan cinta harta yang berlebihan. Jika manusia benar-benar yakin bahwa ia akan dibangkitkan, perilakunya akan berubah secara radikal, dari penimbun menjadi penderma, dari pengeluh menjadi orang yang bersyukur.
Ini adalah bagian yang paling menakutkan dari hari perhitungan. Hushshila berarti dikumpulkan, diwujudkan, atau diungkapkan. Ash-Shudur adalah dada, yang secara metaforis merujuk pada hati, niat, dan rahasia yang tersembunyi. Jika ayat 9 membahas kebangkitan fisik, ayat 10 membahas kebangkitan spiritual dan moral.
Semua yang disembunyikan oleh manusia—motivasi tersembunyi, kebencian yang dipendam, niat munafik, dan kepura-puraan saat berbuat baik—semuanya akan diungkap. Cinta harta yang berlebihan (Ayat 8) seringkali disembunyikan di balik alasan-alasan rasional. Pada hari itu, alasan-alasan tersebut tidak berlaku lagi; yang tersisa hanyalah hakikat niat murni di dalam dada.
Surah ditutup dengan penegasan kekuasaan dan pengetahuan Allah. Khobiir berarti Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Waspada, Yang Mengetahui detail terkecil. Walaupun manusia berusaha menyembunyikan ingkar dan ketamakannya di dunia (Ayat 7), pada Hari Kiamat (Yaumaidzin), tidak ada satu detail pun yang luput dari pengetahuan Allah.
Ayat penutup ini berfungsi sebagai penutup palu: kepastian hari perhitungan dan pengetahuan mutlak Tuhan adalah jaminan bahwa tidak ada ingkar atau ketamakan yang akan dibiarkan tanpa pertanggungjawaban.
Kekuatan naratif Surah Al-Adiyat terletak pada alur berpikirnya yang logis namun emosional. Surah ini membangun argumennya melalui kontras yang mendalam antara perilaku makhluk yang tidak berakal (kuda) dan makhluk yang berakal (manusia).
Lima ayat pertama menggambarkan kuda-kuda yang mengeluarkan seluruh energinya demi perintah tuannya, berlari kencang hingga terengah-engah (*Dhabhan*), memantik api (*Qadhan*), dan menyerbu dengan penuh dedikasi (*Wasathna*). Kuda-kuda ini adalah simbol dari ketaatan yang sempurna. Mereka tidak meminta imbalan yang besar, mereka hanya melakukan tugas mereka. Kepatuhan ini adalah standar yang ditetapkan Allah untuk merenungkan perilaku manusia.
Kontrasnya muncul pada Ayat 6 (*Innal insana lirabbihi lakanuud*). Manusia, yang diberi akal, ruh, dan nikmat tak terhitung (seperti nikmat penglihatan, pendengaran, kesehatan, dan harta), justru menjadi kanuud, yaitu ingkar dan tidak tahu berterima kasih. Padahal, jika seekor kuda bisa begitu patuh hanya untuk tuannya di dunia, mengapa manusia gagal untuk patuh kepada Penciptanya yang memberinya segalanya?
Kegagalan ini bukan karena ketidakmampuan fisik, melainkan karena penyakit batin: cinta dunia yang berlebihan (Ayat 8). Kecintaan yang kuat ini membutakan mata hati manusia, membuat mereka lupa akan sumber rezeki sejati, dan fokus hanya pada penumpukan materi.
Penggunaan kata *Al-Khair* untuk merujuk pada harta (Ayat 8) adalah poin linguistik yang sangat penting. Secara umum, *Khair* adalah kebaikan, tetapi Al-Qur'an menggunakannya untuk menyoroti ironi: sesuatu yang seharusnya menjadi sarana kebaikan (harta bisa digunakan untuk zakat, sedekah, dan manfaat umum) justru menjadi penghalang kebaikan ketika dicintai secara berlebihan. Cinta yang ‘keras’ (*Lasyadiid*) terhadap harta mengubah harta dari sarana menjadi tujuan utama hidup.
Ujian terberat bagi sifat *Kanuud* adalah ketika manusia harus melepaskan sebagian harta yang dicintainya untuk berinfak. Saat itulah cinta yang *Lasyadiid* diuji. Manusia yang *Kanuud* akan gagal dalam ujian ini, karena hati mereka telah terikat erat oleh kekayaan duniawi.
Surah Al-Adiyat bukan sekadar ancaman, melainkan diagnosis spiritual yang mendalam terhadap kondisi manusia. Ia berfungsi sebagai panduan untuk introspeksi diri (muhasabah).
Ayat 10 yang menekankan pengungkapan "apa yang tersimpan di dalam dada" (*wa hussila ma fish-shudur*) mengajarkan kita bahwa niat adalah mata uang sejati di akhirat. Seluruh tindakan yang dilakukan di dunia, betapapun besar dan tampaknya mulia, akan diukur berdasarkan motivasi batinnya.
Misalnya, seseorang yang bersedekah besar mungkin terlihat dermawan, tetapi jika niatnya adalah untuk mendapatkan pujian manusia, sedekah itu akan menjadi debu yang beterbangan ketika hatinya dibongkar. Surah ini memaksa kita untuk memeriksa kembali, apakah tindakan kita (seperti kuda-kuda yang gigih berlari) dilakukan murni karena Allah, ataukah karena dorongan *Hubbil Khair*.
Cara praktis untuk melawan sifat *Al-Kanuud* (ingkar/ketidakbersyukuran) adalah dengan selalu melakukan tadabbur (perenungan mendalam) terhadap nikmat yang paling mendasar, yaitu nikmat Iman dan Islam. Ini melibatkan praktik-praktik spiritual seperti:
Apabila kuda-kuda bersumpah dengan jeritan nafas mereka yang terengah-engah sebagai tanda kerja keras, maka manusia seharusnya bersumpah dengan setiap nafasnya sebagai tanda syukur yang mendalam.
Zuhd sering diartikan sebagai menjauhi dunia. Namun, dalam ajaran Islam, zuhd yang sejati bukan berarti tidak memiliki harta, tetapi memiliki harta tanpa membiarkan harta itu memiliki hati kita. Al-Adiyat memperkuat konsep ini. Surah ini tidak melarang kepemilikan harta (*Al-Khair*), tetapi memperingatkan kecintaan yang berlebihan (*Lasyadiid*) terhadapnya.
Zuhd yang diajarkan oleh Al-Adiyat adalah membebaskan hati dari keterikatan materi, sehingga ketika harta itu diminta untuk jalan Allah (infak atau zakat), hati tidak merasa berat atau sakit, tetapi justru ringan dan bahagia karena telah menggunakannya sesuai fungsi sejatinya—sebagai bekal untuk hari kebangkitan.
Al-Adiyat menggunakan gaya bahasa yang unik dan ritmis yang menekankan urgensi dan intensitas pesannya.
Lima ayat pertama memiliki irama yang cepat dan berima (ضَبْحًا, قَدْحًا, صُبْحًا, نَقْعًا, جَمْعًا). Rima ini meniru suara derap kaki kuda yang bergerak cepat di medan perang. Penggunaan sumpah dengan kuda-kuda perang menunjukkan bahwa Allah bersumpah dengan kekuatan, kecepatan, dan kepatuhan yang luar biasa. Ini adalah penggunaan bahasa yang sangat efektif untuk menarik perhatian pendengar pada momen dramatis, sebelum beralih ke kritik spiritual.
Seperti yang telah dibahas, *Kanuud* adalah pilihan kata yang lebih kuat daripada sekadar *Kafir* (tidak bersyukur). Kata ini berasal dari akar kata yang berarti gersang atau keras. Ini secara linguistik menggambarkan hati manusia yang telah mengeras karena dunia, tidak lagi menerima hujan keimanan atau menumbuhkan buah kebaikan. Ini adalah kekeringan spiritual yang diakibatkan oleh materialisme.
Struktur keseluruhan surah adalah perbandingan kontras (mukhalafah):
Kekuatan narasi ini terletak pada transisi yang tiba-tiba dari sumpah yang penuh aksi dan patriotik menuju tuduhan moral yang personal dan menusuk.
Al-Adiyat sering dikaitkan dengan tema-tema yang ditemukan dalam surah-surah pendek Makkiyah lainnya yang fokus pada akidah dan hari perhitungan, seperti Al-Qari'ah dan Az-Zalzalah.
Surah Az-Zalzalah berfokus pada goncangan bumi dan bagaimana bumi akan mengeluarkan beban-bebannya. Az-Zalzalah menekankan bahwa setiap perbuatan sekecil apa pun akan diperhitungkan (*faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah*). Al-Adiyat melengkapi ini dengan menekankan bahwa tidak hanya perbuatan yang dihitung, tetapi juga niat dan rahasia yang tersembunyi di dada (*hushshila ma fish-shudur*). Keduanya mendorong kesadaran akan akuntabilitas total.
Al-Qari'ah menggambarkan kengerian Hari Kiamat, di mana manusia seperti laron yang bertebaran. Jika Al-Qari'ah menggambarkan efek eksternal dari Kiamat (kekacauan alam), Al-Adiyat menggambarkan efek internal (pengungkapan rahasia hati). Kedua surah ini bekerja sama untuk menanamkan rasa takut dan harapan yang seimbang dalam diri seorang mukmin.
Bagaimana Surah Al-Adiyat harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh seorang Muslim?
Setiap Muslim harus secara rutin bertanya pada dirinya sendiri: Seberapa sering saya menjadi *Kanuud*? Apakah saya lebih sering mengeluh tentang satu kekurangan daripada bersyukur atas puluhan nikmat yang saya miliki? Apakah saya melihat musibah lebih besar daripada rahmat Allah? Mengakui kecenderungan *Kanuud* adalah langkah pertama untuk menjadi lebih bersyukur.
Surah ini mengajarkan agar kita menggunakan harta sebagai alat, bukan tujuan. Jika kecintaan pada harta membuat seseorang menunda infak, menghalangi zakat, atau bahkan mengorbankan waktu ibadah, maka cinta itu sudah berada pada tingkat *Lasyadiid* yang tercela. Obatnya adalah infak yang dilakukan secara rutin dan tanpa rasa berat, meyakini bahwa memberi adalah sarana untuk meningkatkan *khair* sejati (kebaikan di akhirat), bukan mengurangi harta duniawi.
Ayat 10 adalah pengingat untuk terus membersihkan niat. Setiap tindakan ketaatan (shalat, puasa, sedekah, bekerja) harus diverifikasi: Apakah ini murni karena Allah? Jika niatnya bercampur dengan keinginan untuk dilihat orang lain (riya) atau pujian, maka ia rentan dihancurkan pada Hari Perhitungan. Hidup dengan kesadaran bahwa "dada akan dibongkar" akan menuntun pada integritas batin yang tinggi.
Kecintaan yang berlebihan terhadap harta (*Hubbil Khair*) yang disoroti di Ayat 8 adalah akar dari banyak masalah sosial dan spiritual yang dihadapi manusia.
Harta yang berlebihan dan cinta yang kuat terhadapnya berfungsi sebagai tirai (hijab) yang menghalangi pandangan spiritual. Ketika seseorang fokus sepenuhnya pada akumulasi kekayaan, ia kehilangan kemampuan untuk melihat realitas yang lebih besar: bahwa dunia adalah sementara dan akhirat adalah abadi. Tirai ini membuat peringatan tentang Kiamat (Ayat 9-11) terasa jauh dan tidak relevan.
Sifat *Kanuud* dan *Hubbil Khair* tidak hanya merusak hubungan vertikal (dengan Allah), tetapi juga hubungan horizontal (dengan sesama). Orang yang *kanuud* adalah orang yang pelit dan tidak mengakui kebaikan orang lain. Jika ia diberi rezeki lebih, ia enggan berbagi karena rasa cinta yang kuat terhadap hartanya, sehingga memicu ketidakadilan, iri hati, dan kesenjangan sosial yang tajam.
Dalam konteks Madaniyah, ketika harta rampasan perang (ghanimah) menjadi godaan, surah ini turun sebagai pengingat: perjuangan dan pengorbanan di medan perang dilakukan demi Allah, bukan semata-mata demi materi. Jika motivasi peperangan bergeser dari ketaatan (seperti kuda-kuda yang patuh) menjadi ketamakan, maka seluruh usaha itu menjadi sia-sia.
Mengapa Allah memilih bersumpah dengan kuda-kuda dan bukan dengan elemen alam yang lebih besar seperti langit atau bumi (seperti yang sering dilakukan di surah lain)?
Sumpah dengan kuda perang adalah spesifik dan relevan dengan sifat manusia yang di bahas. Kuda adalah simbol:
Allah menggunakan entitas yang paling dekat dengan perjuangan manusia pada saat itu. Pesannya adalah: jika makhluk yang tidak berakal menunjukkan intensitas dan dedikasi sedemikian rupa untuk perintah tuannya (manusia), maka betapa lebih wajibnya manusia untuk menunjukkan intensitas dan dedikasi yang sama kepada Tuhannya, apalagi dalam hal ketaatan dan rasa syukur.
Kuda-kuda tersebut, meskipun mengeluarkan keringat dan percikan api karena usaha mereka, tetap patuh dan tidak pernah mengeluh. Ini kontras dengan manusia, yang seringkali mengeluh tentang sedikitnya ujian sambil melupakan nikmat yang tak terhingga. Sumpah ini menggarisbawahi keagungan ketaatan yang tulus, apapun biayanya.
Surah Al-Adiyat, dengan sebelas ayatnya, merangkum perjalanan spiritual seorang Mukmin. Ia dimulai dengan inspirasi dari ketekunan dan pengorbanan (kuda perang), beralih ke kritik tajam terhadap penyakit spiritual manusia (ingkar dan tamak), dan diakhiri dengan peringatan yang tak terelakkan tentang hari pertanggungjawaban total, di mana tidak hanya perbuatan tetapi juga niat terdalam akan diungkap.
Mempelajari *al adiyat artinya* adalah mempelajari peta jalan menuju pembersihan jiwa. Ini adalah panggilan untuk memutus belenggu cinta dunia yang berlebihan, membersihkan hati (Ash-Shudur) dari segala niat yang busuk, dan menjalani hidup dengan semangat syukur yang tak terputus, meniru kepatuhan kuda-kuda yang berlari kencang tanpa pamrih menuju tujuan mereka.
Hanya dengan kesadaran penuh terhadap Hari Kebangkitan (Ayat 9-11), manusia dapat menundukkan sifat *Kanuud* dan mengarahkan kecintaan terhadap *Al-Khair* (harta) menjadi kecintaan sejati terhadap *Al-Khair* (kebaikan Ilahi) yang abadi. Sebab, pada akhirnya, Tuhan mereka Maha Mengetahui setiap detail kecil dari keadaan mereka, baik yang tersembunyi di dalam kubur maupun yang tersimpan di dalam dada.
Pesan Al-Adiyat adalah seruan untuk beraksi sekarang. Jangan biarkan energi dan kecepatan hidup kita (seperti kuda yang berlari) diarahkan pada penimbunan yang fana, melainkan pada ketaatan yang abadi, sebelum tiba saatnya setiap rahasia hati dihadapkan pada Sang Maha Mengetahui.
Mari kita telaah lebih jauh bagaimana kecintaan yang berlebihan terhadap harta benda, yang dilabeli Allah sebagai *Hubbil Khair Lasyadiid*, memanifestasikan dirinya dalam kehidupan spiritual. Kecintaan ini bukanlah sekadar hasrat memiliki, tetapi sebuah keterikatan emosional yang kuat, yang pada akhirnya mengendalikan keputusan hidup manusia. Ketika cinta terhadap harta mencapai intensitas *Lasyadiid*, ia mulai mengambil alih posisi yang seharusnya diisi oleh kecintaan kepada Allah SWT.
Kekikiran adalah buah paling nyata dari *Hubbil Khair Lasyadiid*. Orang yang mencintai hartanya secara berlebihan akan menemukan kesulitan luar biasa untuk berinfak, mengeluarkan zakat, atau bahkan membantu kerabat dekat yang membutuhkan. Mereka melihat harta bukan sebagai amanah atau alat untuk berinvestasi di akhirat, melainkan sebagai perpanjangan identitas diri. Setiap rupiah yang dikeluarkan terasa seperti darah yang terbuang. Hal ini secara langsung mengaitkan Ayat 8 dengan Ayat 6 (Al-Kanuud). Bagaimana mungkin seseorang bersyukur kepada Pemberi Rezeki (Allah) jika ia sangat mencintai hadiah (harta) hingga enggan menggunakannya sesuai kehendak Pemberi hadiah?
Egoisme juga muncul. Harta menjadi sumber kesombongan. Orang yang kaya raya cenderung memandang rendah mereka yang kurang beruntung, melupakan bahwa keberkahan materi yang ia miliki hanyalah sementara. Kesombongan ini mencegahnya melihat dirinya sendiri sebagai seorang hamba yang bertanggung jawab, melainkan sebagai penentu nasibnya sendiri.
Salah satu kerusakan terbesar yang ditimbulkan oleh *Hubbil Khair* adalah pencampuran niat dalam ibadah. Seseorang mungkin melaksanakan shalat atau puasa, tetapi motivasi utamanya adalah mendapatkan kemudahan duniawi, kesuksesan finansial, atau pengakuan sosial. Ini adalah bentuk *riya* (pamer) atau mencari keuntungan duniawi melalui amal akhirat. Ayat 10, *wa hussila ma fish-shudur* (apa yang tersimpan di dalam dada dikeluarkan), adalah peringatan langsung terhadap kecurangan niat ini. Di Hari Kiamat, niat murni dan niat yang tercampur akan dipisahkan dan diungkap. Cinta harta yang *Lasyadiid* adalah racun yang paling efektif dalam mengotori niat.
Dalam kondisi cinta harta yang ekstrem, batas-batas halal dan haram mulai kabur. Dorongan untuk mengakumulasi lebih banyak kekayaan membuat seseorang tergoda untuk terlibat dalam transaksi yang meragukan (syubhat) atau bahkan jelas-jelas haram (seperti riba, korupsi, atau penipuan). Logika berpikirnya terbalik: bukan lagi "Bagaimana cara saya mencari rezeki yang halal?", tetapi "Bagaimana cara saya mendapatkan uang ini secepat mungkin, terlepas dari kehalalannya?". Ini adalah puncak dari sifat *Kanuud*, yaitu mengabaikan perintah Tuhannya demi memenuhi hasrat materi.
Cinta harta juga mewujudkan diri dalam pengabaian hak-hak Allah, terutama kewajiban finansial. Zakat seringkali ditunda-tunda atau dihitung seminimal mungkin. Sedekah menjadi jarang. Waktu yang seharusnya digunakan untuk menuntut ilmu agama atau beribadah digunakan untuk mengejar peluang bisnis tambahan, dengan alasan "mengamankan masa depan". Ironisnya, manusia yang *kanuud* lupa bahwa keamanan sejati hanya datang dari Allah, bukan dari saldo banknya.
Kita perlu kembali ke sumpah awal. Kuda, makhluk yang tidak dibebani hukum syariat, menunjukkan etos kerja yang jauh lebih unggul dibandingkan banyak manusia. Kuda-kuda berlari kencang dalam dingin dan gelap subuh, tanpa mempertimbangkan risiko atau imbalan materi. Mereka adalah instrumen kepatuhan yang sempurna. Ketika Allah bersumpah dengan mereka, Dia menunjukkan sebuah standar ketaatan yang alami, instingtif, dan tanpa negosiasi.
Di sisi lain, manusia—makhluk yang dianugerahi kemampuan untuk bersyukur, berfilsafat, dan memahami konsekuensi abadi—justru menunjukkan perlawanan dan ingkar. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang seringkali perlu diancam dengan api neraka atau dijanjikan surga agar bersedia bertindak benar. Kontras ini adalah kritik terbesar Al-Adiyat: betapa bodohnya manusia yang memilih ingkar padahal diberi potensi spiritual tak terbatas, sementara makhluk yang terbatas memilih patuh secara mutlak.
Pembongkaran kubur secara fisik adalah simbol dari penghapusan semua tirai penutup di dunia. Di dunia, status sosial, kekayaan, dan penampilan fisik bisa menipu. Orang kaya bisa menipu bahwa ia dermawan, orang munafik bisa menipu bahwa ia saleh. Namun, ketika jasad dibangkitkan, semua simbol status duniawi hilang. Semua kembali pada keadaan yang paling dasar. Pembongkaran ini menghancurkan ilusi materialisme yang dihidupkan oleh *Hubbil Khair*. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan, kekayaan, dan kecantikan tidak ada artinya begitu kita memasuki alam barzakh.
Ini juga terkait dengan keadilan Ilahi. Bagi orang yang terzalimi di dunia, pembongkaran kubur adalah awal dari penegakan keadilan. Bagi orang yang tamak dan ingkar, ini adalah awal dari pertanggungjawaban yang tak terhindarkan. Pertanyaan retoris "Maka apakah dia tidak mengetahui...?" adalah tamparan keras bagi setiap jiwa yang hidup seolah-olah kematian adalah akhir dari segalanya.
Jika Ayat 9 menangani dunia luar (jasad dan kubur), Ayat 10 menangani dunia batin (hati dan niat). Ini adalah momen psikologis terbesar di Hari Kiamat. Allah akan 'mengumpulkan' dan 'menampakkan' semua yang tersembunyi. Rahasia yang paling dijaga, niat yang paling tersembunyi, kebencian yang dipendam, semua akan menjadi jelas, tidak hanya bagi Allah (karena Dia sudah tahu), tetapi juga bagi manusia itu sendiri dan bagi sesama manusia.
Pengungkapan ini menghilangkan semua bentuk kemunafikan dan pretensi. Cinta harta yang *Lasyadiid* seringkali disamarkan. Mungkin seseorang membangun masjid, tetapi hati nuraninya tahu bahwa tujuannya adalah agar namanya diabadikan di sana, bukan untuk mencari wajah Allah. Di Hari Perhitungan, amal ini akan ditolak, karena didasarkan pada niat yang kotor. Inilah mengapa tafsir ini sangat krusial: tidak ada tempat bersembunyi bagi kebohongan hati.
Oleh karena itu, surah Al-Adiyat adalah seruan untuk hidup dengan integritas batin total, di mana tindakan luar sejalan sempurna dengan niat di dalam dada, sebagai antisipasi terhadap hari di mana dada akan dibongkar total.
Taqwa (kesadaran diri dan takut kepada Allah) adalah benteng pertahanan utama melawan sifat *Kanuud*. Seseorang yang bertaqwa memahami bahwa semua nikmat datang dari Allah dan akan digunakan untuk jalan Allah. Taqwa mengubah kecintaan terhadap *Al-Khair* (harta) dari kecintaan yang berlebihan menjadi kecintaan yang terarah: mencintai harta karena itu memberinya kemampuan untuk menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak sesama manusia.
Taqwa juga menumbuhkan Raja’ (harapan) dan Khauf (ketakutan). Harapan akan ampunan Allah dan ketakutan akan pertanggungjawaban yang keras pada Hari Kiamat. Rasa takut inilah yang didorong oleh ayat penutup: *Inna Rabbahum bihim Yaumaidzin laKhabiir* (Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka). Pengetahuan Allah yang menyeluruh adalah jaminan keadilan mutlak dan pencegah efektif terhadap ingkar dan tamak.
Dengan demikian, Surah Al-Adiyat adalah salah satu intisari pengajaran etika Islam yang paling padat. Ia menggunakan dramatisasi perang, sumpah yang kuat, dan kontras moral untuk menanamkan kesadaran abadi akan pentingnya syukur, niat yang murni, dan persiapan yang sungguh-sungguh untuk hari akhirat. Peringatan ini bersifat universal: hati-hati terhadap *kanuud*, karena ia adalah gerbang menuju kerugian abadi yang dipicu oleh keterikatan duniawi.