Adzan bagi Jenazah: Tinjauan Syariat, Tradisi, dan Kearifan Lokal

Mukadimah: Persimpangan Syariat dan Rasa Duka

Kematian adalah gerbang universal yang pasti dilalui setiap makhluk bernyawa. Dalam Islam, momen wafatnya seseorang hingga prosesi penguburan merupakan rangkaian ibadah yang sarat makna dan diatur secara rinci dalam syariat. Ritual dan tata cara yang mengiringi jenazah memiliki tujuan mulia, yakni menghormati almarhum, memberikan ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan, serta mengingatkan yang hidup akan akhirat.

Di banyak komunitas Muslim, khususnya di wilayah Nusantara, muncul tradisi yang unik dan mendalam, yaitu pengumandangan adzan atau iqamah di dekat jenazah, baik segera setelah meninggal dunia, sebelum dimandikan, atau saat jenazah hendak dimasukkan ke liang lahat. Praktik ini seringkali menjadi sumber diskusi dan perdebatan di kalangan ulama dan masyarakat: Apakah praktik ini memiliki landasan kuat dalam sunnah Nabi Muhammad SAW, ataukah ia merupakan adaptasi budaya yang dikategorikan sebagai bid’ah?

Artikel yang komprehensif ini bertujuan untuk mengupas tuntas praktik adzan bagi orang meninggal. Kita akan menelusuri akar teologisnya, menganalisis pandangan empat madzhab fiqh utama, serta memahami hikmah dan kearifan lokal yang melatarbelakangi kelestarian tradisi ini di tengah masyarakat Indonesia.

Siluet Masjid dan Cahaya Menuju Keabadian

Gambar 1: Simbol Ketenangan dan Awal Perjalanan Baru.

Hakikat Adzan dan Konteks Syar'i Awal

Untuk memahami hukum adzan bagi jenazah, kita harus kembali pada definisi dan fungsi dasar adzan dalam syariat Islam. Adzan, secara harfiah berarti pengumuman atau panggilan. Secara istilah syar'i, adzan adalah seruan khusus yang menandakan masuknya waktu shalat fardhu dan mengajak jamaah untuk berkumpul menunaikannya.

Fungsi Utama Adzan

1. Panggilan Shalat (Ibadah Mahdhah): Fungsi ini adalah yang paling utama dan mutlak, sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur'an dan dicontohkan secara konsisten oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat.

2. Pengusir Setan: Hadits-hadits sahih menyebutkan bahwa setan lari terbirit-birit ketika mendengar suara adzan. Ini menunjukkan dimensi perlindungan spiritual.

3. Penyucian Tempat: Adzan kadang dikumandangkan di tempat yang angker atau baru didiami untuk membersihkannya dari gangguan jin dan setan, meskipun praktik ini juga memiliki perdebatan fiqhnya sendiri.

Konteks Adzan yang Disunnahkan

Syariat secara eksplisit mensunnahkan pengumandangan adzan pada dua momen penting yang terkait dengan kehidupan manusia:

Mengenai adzan saat kelahiran, para ulama memberikan hikmah yang mendalam. Disebutkan bahwa hal tersebut merupakan pembisikan tauhid pertama yang didengar oleh janin, sebuah simbol janji abadi antara hamba dan Penciptanya, serta sebagai perlindungan dari gangguan syaitan yang konon hadir saat kelahiran. Inilah titik analogi utama yang sering digunakan oleh para pendukung adzan bagi jenazah, yang akan kita bahas lebih lanjut.

Adzan untuk Orang Meninggal: Realitas Tradisi Nusantara

Di Indonesia dan Malaysia, praktik adzan bagi jenazah bukanlah hal yang langka. Meskipun tidak diajarkan secara eksplisit dalam kurikulum fiqh resmi, tradisi ini telah mengakar kuat di berbagai daerah, khususnya di kalangan komunitas Muslim tradisionalis.

Tiga Varian Pelaksanaan

Pelaksanaan adzan untuk jenazah umumnya terjadi pada salah satu dari tiga fase berikut, atau bahkan ketiganya:

  1. Saat Sakratul Maut atau Segera Setelah Wafat: Adzan dikumandangkan di dekat kepala jenazah, bertujuan untuk mengantar ruh dalam keadaan tenang dan mengusir syaitan yang mungkin berusaha mengganggu di detik-detik akhir kehidupan.
  2. Sebelum atau Sesudah Dimandikan: Dalam beberapa tradisi, adzan dikumandangkan saat jenazah telah selesai dikafani dan siap untuk dishalatkan, sebagai pengumuman spiritual kepada alam gaib.
  3. Di Liang Lahat (Saat Penguburan): Ini adalah varian yang paling sering ditemui. Ketika jenazah diturunkan ke liang lahat dan diletakkan miring menghadap kiblat, salah seorang anggota keluarga atau tokoh agama mengumandangkan adzan dan/atau iqamah tepat di atas liang kubur.

Motivasi utama di balik praktik ini seringkali didasarkan pada konsep analogi siklus kehidupan: sebagaimana manusia disambut dengan adzan saat lahir, maka ia juga diantar dengan adzan saat kembali kepada Tuhannya. Ini adalah simbol permulaan dan pengakhiran kehidupan, yang diisi dan ditutup dengan kalimat tauhid.

Makna Mendalam dalam Tradisi

Bagi penganutnya, adzan di liang lahat memiliki makna psikologis dan spiritual yang sangat dalam. Ia dianggap sebagai:

Analisis Fiqh: Hukum Adzan bagi Jenazah dalam Pandangan Madzhab

Diskusi mengenai status hukum adzan bagi jenazah membawa kita pada kajian mendalam tentang ibadah mahdhah (ibadah murni) dan prinsip-prinsip bid’ah dalam Islam. Secara umum, para fuqaha (ahli fiqh) terbagi menjadi dua kelompok besar mengenai masalah ini.

Kelompok Pertama: Penolakan Keras (Pendapat Mayoritas Ulama Salaf dan Madzhab Fiqh Klasik)

Mayoritas ulama dari Madzhab Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali, serta ulama kontemporer yang berpegang teguh pada dalil yang eksplisit (tekstualis), menyatakan bahwa praktik adzan bagi jenazah adalah bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk) atau setidaknya bid'ah makruhah (bid'ah yang dibenci).

Dalil Penolakan (Al-Man’u)

1. Ketiadaan Dalil Sahih (Tidak Adanya Sunnah Qouliyah maupun Fi’liyah): Ini adalah argumen inti. Adzan adalah ibadah yang tata caranya telah ditentukan (tauqifi). Tidak ada satu pun hadits sahih, bahkan hadits dha’if yang layak dijadikan sandaran, yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW, Khulafaur Rasyidin, atau Sahabat melakukan adzan di kuburan atau bagi jenazah.

Jika praktik ini baik dan disyariatkan, pastilah Rasulullah SAW dan para Sahabat telah lebih dahulu melakukannya dan mengajarkannya kepada umat. Meninggalkan suatu amal ibadah yang seharusnya dilakukan oleh generasi terbaik adalah indikasi kuat bahwa amal tersebut tidak disyariatkan.

2. Qiyas yang Tidak Tepat (Analogi yang Keliru): Para penentang berpendapat bahwa menganalogikan adzan saat lahir (yang disunnahkan) dengan adzan saat meninggal (yang tidak disunnahkan) adalah qiyas yang fasid (rusak). Adzan saat lahir adalah untuk ‘menyambut’ jiwa yang baru masuk ke dunia, dan memiliki dalil yang spesifik (walau diperselisihkan derajat kesahihannya). Sementara kematian adalah akhir. Adzan adalah seruan kepada yang hidup untuk shalat, bukan seruan kepada yang mati.

3. Prinsip Ibadah Mahdhah: Dalam kaidah fiqh disebutkan, "Asal dari ibadah adalah haram (dilarang) kecuali ada dalil yang memerintahkannya." Karena adzan adalah ibadah mahdhah, penambahan konteks penggunaannya tanpa dalil yang jelas termasuk penambahan dalam syariat. Imam Asy-Syatibi, dalam karyanya Al-I’tisham, menekankan bahwa bid’ah seringkali terjadi karena penambahan cara atau tempat pada ibadah yang sudah ada dasarnya.

4. Fatwa Ulama Kontemporer: Banyak lembaga fatwa besar (seperti Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia) secara tegas melarang praktik ini, menganggapnya sebagai bid'ah yang mengkhawatirkan karena meniru praktik-praktik yang tidak dikenal dalam sunnah murni.

Kelompok Kedua: Memperbolehkan atau Memandangnya sebagai Bid’ah Hasanah (Tradisi Nusantara)

Di sisi lain, banyak ulama tradisionalis dan fiqh yang menekankan pentingnya kearifan lokal ('urf) dan analogi yang lebih luas cenderung memandang praktik ini sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik) atau setidaknya boleh (mubah) karena didasarkan pada niat baik dan tidak bertentangan dengan pokok-pokok syariat.

Dalil Pendukung (Al-Ibahah)

1. Prinsip Simetri Kehidupan: Analogi ini menjadi dasar terkuat. Mereka berargumen bahwa hidup manusia dimulai dengan adzan (tauhid) dan sepantasnya diakhiri dengan adzan. Ini bukan lagi panggilan shalat, melainkan pengulangan tauhid terakhir sebagai bekal bagi almarhum. Kematian adalah awal perjalanan di alam barzakh, dan adzan berfungsi sebagai 'pengumuman' kedatangan ruh ke alam baru.

2. Pengusiran Syaitan: Karena adzan terbukti sahih dapat mengusir syaitan (seperti yang dicatat dalam hadits tentang shalat), maka mengumandangkannya di kuburan berfungsi sebagai benteng pertahanan spiritual pertama bagi almarhum dari godaan syaitan di masa transisi antara dunia dan barzakh. Syaitan sangat aktif mengganggu manusia, termasuk saat sakaratul maut dan di awal alam kubur.

3. Qiyas Terhadap Talqin: Sebagian ulama mengaitkannya dengan Talqin (mengajarkan kembali syahadat kepada jenazah setelah dikubur), meskipun status Talqin sendiri juga diperselisihkan. Jika talqin, yang berisi pengajaran kalimat tauhid, diperbolehkan (sebagaimana pendapat Madzhab Syafi'i), maka adzan, yang juga berisi kalimat tauhid dan mengandung pengusiran setan, seharusnya juga diperbolehkan secara substansi makna.

4. 'Urf dan Mashlahah Mursalah: Di banyak wilayah Nusantara, praktik ini telah berlangsung turun-temurun dan membawa ketenangan batin bagi keluarga yang berduka, tanpa merusak akidah. Ulama yang cenderung fleksibel menggunakan prinsip Mashlahah Mursalah (kemaslahatan yang tidak dilarang syariat) untuk membenarkan praktik ini selama tidak diyakini sebagai sunnah wajib atau sunnah mu'akkadah.

Posisi Fiqh Empat Madzhab dan Kajian Hadits

Menganalisis lebih dalam, penting untuk melihat bagaimana ulama terdahulu memandang praktik adzan di tempat-tempat yang tidak biasa, yang akan menjelaskan mengapa adzan untuk jenazah ditolak secara luas dalam fiqh klasik.

1. Madzhab Syafi'i dan Hanafi

Dalam Madzhab Syafi'i, adzan adalah sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan) untuk shalat fardhu. Mengenai adzan di luar konteks shalat dan kelahiran, para ulama Syafi'iyah, seperti Imam Nawawi, menegaskan bahwa adzan di luar konteks yang disebutkan adalah makruh. Mereka secara eksplisit menyebutkan adzan di kuburan sebagai hal yang tidak diajarkan. Namun, perlu dicatat bahwa di Indonesia (yang mayoritas Syafi’i), praktik ini berlanjut atas dasar tradisi lokal yang diterima oleh sebagian besar ulama lokal sebagai pengecualian budaya, bukan karena dalil kuat dari kitab fiqh utama.

Madzhab Hanafi lebih ketat lagi dalam memandang adzan hanya untuk shalat. Adzan di liang lahat dianggap sebagai perbuatan yang menyerupai shalat tanpa adanya shalat, sehingga sangat tidak dianjurkan. Mereka menekankan bahwa adzan adalah ritual untuk orang hidup yang akan shalat.

2. Madzhab Maliki dan Hanbali

Madzhab Maliki dikenal sangat menekankan amal penduduk Madinah dan menolak keras segala bentuk inovasi ritual. Imam Malik sangat ketat dalam membatasi ibadah pada praktik yang dikenal. Oleh karena itu, adzan di kuburan sama sekali tidak dikenal dalam tradisi mereka dan dianggap bid’ah. Mereka bahkan memperdebatkan keabsahan adzan di telinga bayi, apalagi untuk jenazah.

Madzhab Hanbali juga berpegangan pada kaidah bahwa adzan harus berdasarkan nash yang jelas. Mereka melihat adzan sebagai seruan kepada yang hidup, dan tidak ada nash yang menunjukkan bahwa mayit (jenazah) dapat mengambil manfaat dari adzan secara langsung dalam konteks ritual pemakaman, selain dari doa yang dipanjatkan oleh orang yang hidup.

Kajian Terhadap Hadits tentang Adzan untuk Mayit

Pencarian dalam literatur hadits menunjukkan ketiadaan dalil langsung. Sejumlah pihak yang mendukung praktik ini kadang berpegangan pada hadits yang sangat lemah (dha’if jiddan) atau bahkan palsu (maudhu’) yang mengaitkan manfaat adzan dengan masa-masa sulit, seperti saat bepergian atau saat terjadinya musibah.

Namun, para muhaddits (ahli hadits) sepakat bahwa tidak ada hadits yang bisa dijadikan sandaran hukum (hujjah) untuk melaksanakan adzan khusus bagi jenazah. Jika hadits tentang adzan di telinga bayi saja masih diperselisihkan derajat kesahihannya, maka ketiadaan hadits sama sekali untuk adzan bagi jenazah memperkuat pandangan bahwa praktik tersebut adalah tambahan kultural yang tidak syar'i.

Kitab Fiqh Terbuka Dalil dan Kitab Fiqh

Gambar 2: Sumber Hukum dan Analisis Syariat.

Kekuatan dan Makna Filosofis Setiap Kalimat Adzan

Meskipun praktik adzan untuk jenazah mungkin tidak memiliki dasar syar’i yang eksplisit, penting untuk memahami mengapa umat Islam meyakini bahwa kalimat-kalimat ini memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa, sehingga digunakan dalam ritual paling krusial dalam hidup: kelahiran dan kematian. Setiap lafaz adzan adalah benteng akidah, sebuah perisai tauhid yang sangat kuat.

Rincian Lafaz Adzan dan Relevansinya dengan Kematian

1. Allahu Akbar (4x): Allah Maha Besar. Mengawali adzan dengan takbir mengingatkan manusia akan kebesaran dan kekuasaan absolut Allah SWT. Dalam konteks kematian, takbir ini menegaskan bahwa sebesar apa pun duka dan seberat apa pun transisi alam kubur, kebesaran Allah melingkupi segalanya. Dunia menjadi kecil, dan fokus kembali pada Sang Pencipta.

2. Asyhadu an laa ilaaha illallah (2x): Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Ini adalah inti tauhid. Bagi yang baru lahir, ia adalah pengakuan pertama. Bagi yang meninggal, ia adalah pengingat terakhir sebelum menghadapi Barzakh. Pengumandang adzan seolah-olah mengulang kembali sumpah tauhid di sisi jenazah, memastikan bahwa kalimat terakhir yang didengar (atau diantar) adalah pengakuan keesaan Allah.

3. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2x): Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Pengakuan atas kerasulan adalah kunci diterimanya amal. Saat ruh mulai berpisah, pengingatan atas kenabian Muhammad SAW diharapkan menjadi penolong dan penguat keyakinan almarhum saat ditanyai tentang nabinya.

4. Hayya ‘alash Shalah (2x): Mari menunaikan shalat. Walaupun dalam konteks kematian ini tidak lagi menjadi panggilan shalat fisik, sebagian ulama tradisionalis menafsirkannya sebagai ajakan untuk menunaikan 'shalat' (ibadah) abadi di hadapan Allah SWT, sebuah persiapan mental bagi almarhum untuk menghadapi pertanggungjawaban.

5. Hayya ‘alal Falah (2x): Mari meraih kemenangan. Kemenangan sejati bagi seorang Muslim adalah ketika ia meninggal dalam keadaan husnul khatimah dan selamat dari siksa kubur. Kalimat ini berfungsi sebagai doa dan harapan agar almarhum meraih kemenangan tersebut.

6. Allahu Akbar (2x): Penguatan takbir. Penutup ini mengukuhkan kembali bahwa segala daya dan upaya manusia hanyalah kecil di hadapan kebesaran Ilahi.

7. Laa ilaaha illallah (1x): Pengakhiran dengan tauhid. Penegasan mutlak bahwa tiada ilah (sesembahan) selain Allah. Ini adalah penutup paling sempurna untuk sebuah perjalanan hidup.

Pengumandangan seluruh rangkaian kalimat ini, dengan suara yang lantang dan penuh penghayatan, diyakini memberikan energi positif dan spiritual yang kuat di sekitar jenazah, membersihkan lingkungan dari energi negatif, dan memberikan ketegasan tauhid di momen paling kritis.

Adzan, Iqamah, dan Talqin: Kontinuitas Pengajaran di Alam Kubur

Praktik adzan bagi jenazah seringkali berjalan beriringan dengan praktik Talqin, yaitu pengajaran kembali syahadat dan rukun iman kepada jenazah setelah dikubur. Walaupun Talqin juga merupakan masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) yang sengit, keberadaannya membantu menjelaskan mentalitas di balik adzan bagi jenazah.

Perbandingan Talqin dan Adzan

Talqin dilakukan setelah jenazah ditimbun tanah. Seseorang duduk di samping kuburan dan membisikkan pertanyaan yang diperkirakan akan diajukan oleh Malaikat Munkar dan Nakir (Siapa Tuhanmu? Siapa Nabimu? Apa Agamamu?). Tujuannya adalah membantu jenazah dalam menghadapi ujian pertama di alam barzakh.

Sementara itu, Adzan (dan Iqamah) seringkali dilakukan tepat saat jenazah diletakkan di liang lahat. Jika Talqin adalah ‘ujian ulang’ akidah, maka adzan adalah ‘pembukaan resmi’ atau ‘pemberitahuan’ spiritual bahwa ruh telah memasuki fase pertanggungjawaban. Dalam beberapa tradisi, Iqamah dikumandangkan setelah Adzan. Iqamah (yang biasanya dikumandangkan sebelum shalat dimulai) dalam konteks ini dipahami sebagai pengumuman bahwa shalat telah ditegakkan, yang diartikan sebagai tegaknya pertanggungjawaban di alam barzakh.

Ulami Syafi’iyyah yang membolehkan Talqin (seperti Imam An-Nawawi, meskipun ada catatan dari ulama lain dalam madzhab yang sama) menggunakan analogi bahwa ruh mayit masih dapat mendengar dan mengambil manfaat dari kalimat tauhid. Jika ruh dapat mendengar Talqin, maka logis pula jika ruh dapat mendengar lantunan adzan yang penuh dengan tauhid.

Peran Adzan dalam Mendisiplinkan Rasa Takut

Kematian menimbulkan ketakutan universal. Rasa cemas keluarga terhadap nasib almarhum di alam kubur adalah wajar. Ketika adzan dikumandangkan, suara itu bukan hanya ditujukan kepada jenazah, tetapi juga berfungsi sebagai terapi spiritual bagi yang ditinggalkan. Keluarga merasa telah melakukan yang terbaik untuk ‘membekali’ almarhum dengan perlindungan spiritual terakhir. Hal ini adalah salah satu faktor kearifan lokal yang mempertahankan tradisi ini, meskipun dalilnya lemah.

Polemik Bid’ah Hasanah vs. Bid’ah Sayyi’ah

Pusat perdebatan hukum adzan bagi jenazah selalu mengerucut pada konsep Bid’ah. Dalam Islam, bid’ah adalah segala sesuatu yang baru, yang ditambahkan atau diubah dalam agama setelah masa Nabi Muhammad SAW. Para ulama terbagi dalam mendefinisikan batas-batas bid’ah, yang sangat mempengaruhi pandangan mereka terhadap praktik ritual seperti adzan bagi jenazah.

Pendekatan Klasik (Pembagian Bid’ah)

Sebagian ulama, terutama dari Madzhab Syafi'i (seperti Imam Izzuddin bin Abdissalam dan Imam An-Nawawi), membagi bid’ah menjadi lima kategori hukum (wajib, sunnah, mubah, makruh, haram) berdasarkan kesesuaiannya dengan prinsip umum syariat (Qawaid Syar'iyyah).

Dalam pandangan ini, adzan bagi jenazah dapat dikategorikan sebagai Bid’ah Mubahah atau Bid’ah Hasanah, jika:

  1. Dilakukan dengan niat yang baik (misalnya, mengingatkan tauhid dan mengusir setan).
  2. Tidak meyakininya sebagai sunnah yang setara dengan sunnah Nabi SAW.
  3. Tidak menggantikan atau menghilangkan sunnah yang sudah ada (misalnya, shalat jenazah).

Bagi mereka, jika suatu praktik membawa maslahat, sesuai dengan tujuan syariat (Maqasid Syari'ah) — seperti penegasan tauhid dan ketenangan batin — maka ia diterima, asalkan tidak menjerumuskan pada kesesatan.

Pendekatan Salaf (Bid’ah Seluruhnya Ditolak)

Kelompok ulama yang mengikuti pendekatan Salafush Shalih (generasi awal) cenderung lebih kaku dan berpegangan pada hadits yang menyatakan, "Setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." Dalam pandangan ini, tidak ada yang namanya "bid’ah hasanah" dalam urusan ibadah mahdhah.

Mereka berpendapat: Adzan adalah ibadah murni yang tujuannya sudah ditetapkan (panggilan shalat atau kelahiran). Mengubah atau menambah konteks tujuannya sama dengan menciptakan syariat baru. Mereka sangat khawatir bahwa praktik bid’ah, meskipun awalnya diniatkan baik, dapat perlahan-lahan menggeser sunnah atau membuat masyarakat mengira itu adalah bagian dari ajaran Nabi SAW.

Dalam konteks ini, adzan di liang lahat dianggap oleh kelompok ini sebagai penyerupaan yang tidak berdasar. Mereka menyarankan bahwa waktu dan energi yang digunakan untuk adzan lebih baik diisi dengan memperbanyak doa, istighfar, dan shalat jenazah, yang statusnya jelas dan pasti sebagai sunnah yang disyariatkan.

Tawazun (Moderasi) dalam Menyikapi Perbedaan

Di tengah perbedaan ini, sikap yang paling bijaksana adalah tawazun (keseimbangan). Bagi komunitas yang telah membudayakan adzan jenazah, praktik tersebut bisa dipertahankan selama tidak diyakini sebagai kewajiban syar'i dan selama hal tersebut tidak menimbulkan perpecahan dengan sesama Muslim. Namun, bagi yang mencari kepastian berdasarkan dalil shahih, fokus haruslah pada ritual pemakaman yang diajarkan Nabi secara eksplisit: memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan, serta memperbanyak doa untuk jenazah.

Suara Adzan dan Alam Barzakh Allahu Akbar Liang Lahat dan Seruan

Gambar 3: Simbolisasi Pengumandangan di dekat Peristirahatan Terakhir.

Hikmah Spiritual dan Konteks Kultural Lokal

Terlepas dari pro dan kontra hukum fiqh, keberlangsungan praktik adzan bagi jenazah di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari aspek hikmah spiritual dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Tradisi ini terjalin erat dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia.

Peran Ulama Nusantara dan Sinkretisme

Para Wali Songo dan ulama awal di Nusantara seringkali menggunakan pendekatan akulturasi. Mereka tidak menghapus total tradisi lama, melainkan mengisi ritual-ritual adat dengan nilai-nilai tauhid. Jika sebelumnya ada ritual pengantar ke alam baka yang berbau animisme atau Hindu-Buddha, ulama menggantinya dengan lafaz yang islami, yaitu adzan dan iqamah.

Adzan, sebagai identitas paling kuat dari ajaran Islam, menjadi alat untuk mengislamkan ritual kematian. Masyarakat merasa bahwa mereka tetap memiliki ritual pengantar yang khidmat, namun isinya adalah tauhid murni. Praktik ini menjadi contoh nyata dari “tamyiz” (pemisahan dari tradisi non-Islam) sambil tetap mempertahankan bentuk ritual yang familiar bagi masyarakat lokal.

Dimensi Psikologis bagi Keluarga

Proses kematian, dari detik-detik sakaratul maut hingga jenazah dimasukkan ke dalam tanah, adalah masa-masa penuh keputusasaan dan kegelapan emosional. Dalam kondisi ini, lantunan adzan yang penuh dengan takbir dan syahadat berfungsi sebagai jangkar psikologis. Suara adzan yang khidmat menciptakan suasana sakral yang mengarahkan hati keluarga kembali kepada Allah dan takdir-Nya.

Adzan memberikan perasaan bahwa almarhum tidak pergi sendirian; ia diantar oleh seruan ilahi. Perasaan ini, meskipun tidak secara langsung tertulis dalam hadits, memenuhi kebutuhan spiritual akan penutup yang sempurna dan penghormatan maksimal bagi yang meninggal.

Adzan sebagai Peringatan bagi yang Hidup

Setiap adzan, di manapun dikumandangkan, selalu mengandung pesan utama: Ingatlah Allah dan hari akhir. Ketika adzan dikumandangkan di kuburan, pesannya diperkuat. Ini adalah pengingat paling gamblang bagi para pengantar jenazah bahwa mereka pun akan menghadapi momen yang sama. Adzan di liang lahat secara efektif berfungsi sebagai mau’izhah hasanah (nasihat yang baik) yang mendalam, mendorong introspeksi dan pertobatan segera.

Maka, bagi mereka yang mempertahankan tradisi ini, manfaat adzan tidak hanya terletak pada apa yang didapatkan oleh almarhum, tetapi juga pada penguatan iman (istiqamah) bagi komunitas yang masih hidup, yang menyaksikan siklus kehidupan dan kematian ditutup dengan sempurna oleh lantunan kalimat tauhid.

Implikasi Sosial dan Fiqh dalam Komunitas

Dalam masyarakat yang homogen secara budaya, praktik adzan bagi jenazah seringkali menjadi bagian dari identitas sosial. Menghilangkannya secara tiba-tiba dapat menimbulkan friksi sosial. Oleh karena itu, ulama lokal seringkali memilih untuk mengakomodasi praktik ini dengan memberikan batasan: tidak diyakini sebagai wajib atau sunnah mu’akkadah, melainkan sebagai adat yang mubah (kebiasaan yang diperbolehkan) selama ia tidak bertentangan dengan ajaran fundamental (seperti syirik).

Keputusan fiqh dalam konteks ini menjadi sangat bergantung pada pertimbangan Maqasid Syari’ah (tujuan syariat). Jika tujuan utamanya adalah menjaga persatuan umat (ittihad) dan memberikan ketenangan batin, ulama tertentu akan membolehkannya, meskipun secara dalil tekstual ia lemah. Namun, jika ada kekhawatiran masyarakat meyakininya sebagai sunnah Nabi yang wajib diikuti, maka ulama yang sama akan mewajibkan penghentian praktik tersebut untuk menghindari bid’ah yang membahayakan akidah.

Penutup dan Rekomendasi Sikap Moderat

Setelah menelaah secara mendalam, praktik pengumandangan adzan bagi orang yang meninggal, khususnya di liang lahat, adalah sebuah fenomena budaya-religius yang berada di persimpangan antara ketentuan syariat yang eksplisit (nash) dan kearifan lokal yang didasarkan pada maslahat dan analogi spiritual.

Rangkuman Pandangan Hukum

Secara hukum fiqh yang berpegangan pada kaidah ibadah tauqifi (ibadah yang ditentukan), mayoritas ulama dan madzhab klasik cenderung menolak praktik ini, mengategorikannya sebagai bid’ah karena ketiadaan dalil sahih dari Nabi Muhammad SAW atau para Sahabat. Mereka menekankan bahwa adzan, sebagai panggilan shalat, hanya sah dikumandangkan pada waktu-waktu yang telah disyariatkan.

Namun, dalam konteks sosial dan budaya Nusantara, praktik ini seringkali diterima oleh ulama tradisionalis sebagai amalan tradisi yang bertujuan baik (bid’ah hasanah/mubah), didukung oleh analogi simetri kehidupan (lahir dan mati diantar dengan seruan tauhid) serta fungsi spiritualnya sebagai penolak gangguan setan dan penenang hati yang berduka.

Sikap Moderasi (Tawassuth)

Dalam menghadapi masalah khilafiyah yang menyangkut ranah ibadah non-pokok seperti ini, umat Islam dianjurkan mengambil sikap moderat dan saling menghormati:

Esensi dari proses penguburan adalah memastikan jenazah mendapatkan hak-haknya sesuai sunnah (mandi, kafan, shalat), serta memastikan bahwa keluarga dan komunitasnya terus mendoakannya. Apakah adzan dikumandangkan atau tidak, fokus utama harus tetap pada doa Allahummaghfirlahu warhamhu (Ya Allah, ampunilah dia dan rahmatilah dia) dan kesiapan kita sendiri dalam menghadapi kematian. Keikhlasan dalam mengikuti ajaran yang jelas lebih utama daripada terjebak dalam ritual yang diperdebatkan.

Adzan bagi jenazah, pada akhirnya, adalah cerminan dari bagaimana umat Islam di Nusantara berupaya mengintegrasikan keyakinan murni dengan kebutuhan psikologis dan tradisi yang telah mengakar. Ia adalah warisan budaya yang membutuhkan kebijaksanaan dalam pelaksanaannya dan kehati-hatian dalam penentuannya sebagai bagian dari agama.

Diskusi yang tak berujung mengenai hal ini menunjukkan betapa dalamnya penghayatan umat terhadap setiap aspek syariat, bahkan pada detail-detail yang bersifat parsial (furu’iyyah). Penting untuk diingat bahwa Islam adalah agama yang paripurna, dan semua hal yang dibutuhkan manusia untuk selamat di dunia dan akhirat telah dijelaskan dengan jelas. Ketika ada kekosongan dalil, para ulama berijtihad. Ijtihad inilah yang menghasilkan perbedaan. Dalam kasus adzan jenazah, ijtihad para ulama Nusantara cenderung menyimpang dari tekstualis karena pertimbangan Maqasid Syari'ah dalam konteks dakwah dan kemaslahatan sosial.

Penyikapan yang dewasa terhadap khilafiyah ini adalah dengan memahami bahwa kebaikan Islam tidak hanya terletak pada ketaatan pada lafaz, tetapi juga pada roh dan semangatnya. Jika adzan yang dikumandangkan mampu menguatkan tauhid dan memberikan ketenangan, maka ia telah memenuhi sebagian dari tujuan syariat, meskipun jalannya tidak melalui jalur sunnah yang eksplisit. Namun, jika ia menyebabkan perpecahan atau diyakini sebagai rukun, maka ia harus ditinggalkan demi kemaslahatan yang lebih besar, yaitu persatuan dan kemurnian akidah.

Oleh karena itu, bagi masyarakat yang ingin lebih mendekati sunnah Nabi SAW secara murni, disarankan untuk fokus pada doa, shalat jenazah yang sempurna, dan pembacaan Al-Qur'an (seperti Yasin) bagi jenazah, yang memiliki dalil yang lebih kuat dan disepakati. Sementara bagi yang memegang erat tradisi, pastikan praktik tersebut tidak mengubah inti ajaran bahwa keselamatan di akhirat bergantung sepenuhnya pada amal ibadah, rahmat Allah, dan syafaat Rasulullah SAW, bukan pada ritual adzan semata.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita menuju pemahaman agama yang lurus dan penuh rahmat.

🏠 Kembali ke Homepage