Setiap pergantian hari, khususnya di ufuk barat Kota Surakarta, terdapat momen suci yang ditunggu-tunggu oleh jutaan hati. Momen tersebut adalah datangnya waktu Maghrib, yang ditandai dengan kumandang Adzan. Penentuan jadwal pasti adzan maghrib Solo hari ini bukanlah sekadar melihat jam, melainkan hasil dari perhitungan ilmiah yang rumit, diselaraskan dengan ketentuan syariat, dan dibingkai oleh tradisi budaya Jawa yang kental.
Waktu Maghrib adalah gerbang menuju salah satu rukun Islam paling fundamental. Di Surakarta, kota yang kaya akan sejarah peradaban Islam dan pusat kebudayaan Jawa, penetapan waktu ini membawa makna ganda: presisi astronomis dan penghormatan terhadap warisan spiritual para leluhur.
Waktu shalat, termasuk Maghrib, ditetapkan berdasarkan pergerakan relatif Matahari. Dalam ilmu falak (astronomi Islam), Maghrib tiba ketika seluruh piringan Matahari telah tenggelam di bawah garis horizon (ufuk). Namun, presisi yang dibutuhkan jauh lebih kompleks, melibatkan koordinat geografis spesifik Surakarta dan standar perhitungan yang digunakan oleh lembaga resmi.
Surakarta (Solo) terletak pada koordinat geografis tertentu. Koordinat lintang dan bujur ini menjadi variabel krusial dalam menentukan kapan Matahari tepat berada di bawah cakrawala. Setiap perubahan kecil pada posisi lintang akan memengaruhi panjangnya hari dan malam, serta waktu shalat di lokasi tersebut. Untuk kota Solo, data koordinat yang akurat adalah titik awal semua perhitungan hisab.
Secara teknis, waktu Maghrib dihitung ketika Matahari mencapai sudut depresi tertentu, yaitu posisi di bawah garis ufuk. Berbeda dengan Subuh atau Isya yang menggunakan sudut depresi yang lebih besar (misalnya, 18° atau 20°), Maghrib secara universal disepakati terjadi segera setelah Matahari terbenam, yaitu ketika pusat piringan Matahari mencapai depresi 0° 50’ (nol derajat lima puluh menit). Lima puluh menit ini adalah koreksi untuk memperhitungkan:
Tanpa koreksi 50 menit busur ini, waktu Maghrib yang dihitung akan terlambat beberapa menit dari realitas visual. Presisi milimeter dalam hisab inilah yang menjamin keabsahan shalat yang didirikan tepat pada waktunya, sebuah disiplin ilmu yang telah dikembangkan oleh ulama Nusantara selama berabad-abad.
Di Indonesia, termasuk di Solo, penetapan waktu shalat secara resmi merujuk pada Pedoman Hisab Rukyat yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan kecil dalam metode penetapan waktu Isya dan Subuh antara berbagai ormas Islam (seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), penetapan waktu Maghrib cenderung sangat seragam karena definisinya yang paling dekat dengan pengamatan visual (Rukyatul Hilal).
Metode yang digunakan adalah gabungan ilmu falak modern (Ephemeris Matahari dan Bulan) dengan kaidah Fiqh Syafi'i yang dominan di Indonesia. Perhitungan ini mencakup:
Dengan memasukkan ketiga variabel ini ke dalam rumus trigonometri bola (spherical trigonometry), diperoleh waktu astronomi lokal (Local Apparent Time - LAT) terbenamnya Matahari, yang kemudian dikonversi menjadi Waktu Indonesia Barat (WIB) setelah disesuaikan dengan bujur standar dan zona waktu. Tingkat keakuratan perhitungan modern ini mencapai orde detik, menghilangkan keraguan umat terkait kapan tepatnya adzan maghrib Solo hari ini harus dikumandangkan.
Gambar 1. Ilustrasi Astronomi Penentuan Waktu Maghrib, mempertimbangkan sudut depresi dan refraksi atmosfer di Surakarta.
Waktu Maghrib di Solo tidak pernah statis. Ia berubah setiap hari, dipengaruhi oleh dua faktor utama: kemiringan sumbu Bumi (Ecliptic) dan orbit Bumi yang berbentuk elips. Perubahan ini menghasilkan titik ekstrem:
Pada saat Solstis (sekitar 21 Juni), belahan Bumi Utara menerima lebih banyak cahaya, dan Solo, yang terletak di bagian Selatan, mengalami hari yang sedikit lebih pendek. Sebaliknya, saat Solstis Musim Dingin (sekitar 21 Desember), waktu Maghrib akan tiba sedikit lebih lambat.
Fluktuasi harian, meskipun hanya dalam hitungan detik atau menit, sangat penting. Dalam periode satu tahun, perbedaan waktu terbit dan terbenam Matahari di Solo bisa mencapai puluhan menit antara puncaknya di musim kemarau dan musim hujan. Inilah mengapa kalender shalat yang dicetak harus diperbarui secara berkala, menjamin bahwa setiap hari, informasi mengenai adzan maghrib Solo hari ini selalu akurat dan relevan.
Ketika Adzan Maghrib berkumandang di Solo, suara itu tidak hanya menandai berakhirnya waktu berpuasa bagi yang menjalankannya atau permulaan shalat fardhu. Ia membawa resonansi sejarah yang menghubungkan masa kini dengan kejayaan Islam di Jawa, khususnya di lingkungan Keraton Kasunanan dan Kadipaten Mangkunegaran.
Masjid Agung Surakarta adalah mercusuar spiritual dan penanda resmi waktu shalat di Kota Solo. Secara tradisional, Adzan Maghrib pertama kali disuarakan dari masjid utama ini, dan kemudian diikuti oleh masjid-masjid dan mushalla yang tersebar di seluruh penjuru kota. Peran Masjid Agung sangat krusial dalam sejarah penentuan waktu:
Kumandang Adzan dari Masjid Agung ini sering kali menggunakan langgam Jawa atau irama khas yang diwariskan secara turun-temurun, sebuah perpaduan unik antara spiritualitas Timur Tengah dan kekayaan budaya lokal.
Di Jawa, khususnya di Solo, waktu Maghrib memiliki makna kultural yang sangat mendalam, sering disebut sebagai ‘waktu patang puluhan’ atau peralihan. Terdapat tradisi unik yang mengiringi waktu menjelang dan sesudah Maghrib:
Keseluruhan rutinitas ini menunjukkan bahwa penantian adzan maghrib Solo hari ini bukanlah sekadar penantian teknis, melainkan penantian kultural yang telah mengakar kuat dalam tata kehidupan masyarakat Surakarta.
Gambar 2. Simbolisasi Adzan Maghrib yang menyatukan arsitektur Islam dengan latar belakang senja Surakarta.
Setelah memastikan kapan Maghrib dimulai, penting untuk memahami berapa lama jendela waktu ini berlangsung. Waktu Maghrib adalah periode shalat terpendek dalam lima waktu wajib, yang dimulai segera setelah Matahari terbenam dan berakhir ketika syafaq (megah) merah di ufuk barat telah hilang sepenuhnya.
Menurut mazhab Syafi'i (yang banyak dianut di Solo dan Indonesia), waktu Isya’ dimulai ketika mega merah (syafaq ahmar) telah hilang. Syafaq ahmar adalah kemerahan yang tersisa di langit setelah Matahari tenggelam. Hilangnya mega merah ini, secara astronomis, terjadi ketika Matahari mencapai sudut depresi sekitar 12° hingga 13° di bawah ufuk. Dengan demikian, rentang waktu Maghrib di Solo adalah selisih antara waktu terbenam (depresi 0° 50’) hingga hilangnya mega merah.
Pada perhitungan Kemenag RI, waktu Isya ditetapkan pada depresi 18°, memberikan toleransi keamanan waktu yang lebih panjang. Namun, secara fiqh murni, Maghrib hanya berlangsung selama mega merah masih terlihat. Di Solo, durasi waktu Maghrib berkisar antara 1 jam 15 menit hingga 1 jam 30 menit, tergantung pada musim.
Karena durasi yang singkat, ulama selalu menekankan pentingnya menyegerakan Shalat Maghrib (ta’jil). Begitu adzan maghrib Solo hari ini berkumandang, umat dianjurkan segera berwudhu dan mendirikan shalat, tanpa penundaan yang tidak perlu, untuk menghindari masuknya waktu Isya’.
Meskipun Solo bergantung pada jadwal hisab yang sangat akurat, syariat Islam pada dasarnya mengizinkan dua metode penentuan waktu: Rukyat (pengamatan langsung) dan Hisab (perhitungan). Untuk waktu Maghrib, kedua metode ini hampir selalu selaras karena Maghrib adalah waktu yang paling mudah diamati.
Di Solo, hisab digunakan sebagai standar baku, tetapi prinsip rukyat—yaitu pengamatan Matahari terbenam—tetap menjadi jiwa dari penetapan waktu tersebut. Apabila terjadi fenomena alam yang ekstrem, seperti letusan gunung berapi yang menghalangi pandangan total (meskipun jarang terjadi), hisab tetap menjadi sandaran utama, berdasarkan kaidah Fiqh yang menekankan presisi matematis.
Dalam era digital, informasi mengenai adzan maghrib Solo hari ini tersedia secara instan melalui berbagai platform, jauh berbeda dari masa lalu yang harus mengandalkan teropong atau jam Matahari. Pergeseran ini menunjukkan bagaimana umat Islam di Solo memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas ibadah mereka.
Masyarakat Solo kini mengakses jadwal shalat melalui:
Meskipun kemudahan ini ada, penting bagi warga Solo untuk memastikan bahwa aplikasi yang digunakan telah dikonfigurasi dengan benar, yaitu menggunakan Lintang dan Bujur Surakarta (sekitar 7.55° LS dan 110.83° BT) dan memilih metode perhitungan yang sesuai dengan standar Indonesia (Kemenag RI), guna menghindari selisih waktu beberapa menit yang dapat membatalkan keabsahan shalat.
Sebelum era digital, stasiun radio lokal (seperti RRI Surakarta) dan televisi regional memainkan peran vital dalam mengumumkan waktu Maghrib. Bahkan hari ini, tradisi ini masih bertahan, terutama saat bulan Ramadhan. Pengumuman resmi melalui media massa ini berfungsi sebagai validasi publik terhadap jadwal hisab yang telah ditetapkan, memperkuat konsensus komunal mengenai waktu berbuka puasa dan waktu shalat.
Lebih dari sekadar penanda waktu, Adzan Maghrib memiliki daya tarik spiritual yang unik, terutama di sore hari yang damai di Solo. Adzan adalah seruan yang memanggil, memutus segala urusan duniawi, dan mengalihkan fokus hati menuju Sang Pencipta.
Lafadz Adzan Maghrib, sama seperti waktu lainnya, dimulai dengan Allahu Akbar (Allah Maha Besar), lima kali sehari, menegaskan bahwa tidak ada yang lebih penting dibandingkan panggilan Tuhan. Khusus untuk Maghrib, pesan ini terasa sangat mendesak karena ia datang setelah hari yang panjang, saat tubuh lelah dan pikiran sibuk dengan urusan dunia.
Lafadz Hayya ‘alal Shalah (Marilah menuju shalat) dan Hayya ‘alal Falah (Marilah menuju kemenangan/kejayaan) adalah inti dari panggilan tersebut. Maghrib menjadi momentum pertobatan dan penyegaran, sebuah janji bahwa meskipun hari telah berakhir dan Matahari telah terbenam, kesempatan untuk meraih kejayaan spiritual masih terbuka lebar melalui shalat. Di Solo, di mana tradisi spiritual Jawa dan Islam menyatu, kumandang ini sering kali dipersepsikan sebagai suara yang menenangkan, menyerukan ketentraman batin di tengah hiruk pikuk kota.
Begitu adzan maghrib Solo hari ini selesai dikumandangkan, umat Islam dianjurkan untuk mengikuti sunnah dan adab tertentu:
Adzan Maghrib di Solo berfungsi sebagai titik fokal yang mengatur ritme sosial kota, menghentikan sementara aktivitas niaga di Pasar Gede dan Pasar Klewer, dan mengarahkan perhatian kolektif kepada dimensi ketuhanan. Ia adalah pengingat harian akan keterbatasan waktu dunia dan keabadian akhirat.
Untuk memahami sepenuhnya ketelitian di balik penetapan adzan maghrib Solo hari ini, kita harus mendalami rumus Hisab yang lebih spesifik. Penentuan waktu Maghrib bukanlah sekadar pencarian posisi Matahari 0° di bawah ufuk. Ia melibatkan koreksi kompleks terhadap banyak variabel yang berubah-ubah secara konstan.
Meskipun hisab standar menghitung Matahari terbenam pada horizon datar ideal (sea level), Solo memiliki topografi dan ketinggian tempat yang harus dipertimbangkan. Solo, meskipun bukan kota pantai, berada pada ketinggian tertentu di atas permukaan laut. Ketinggian (Elevasi) lokasi pengamatan memengaruhi kapan Matahari terlihat terbenam. Semakin tinggi tempat pengamatan, semakin lambat Matahari terlihat terbenam. Untuk perhitungan umum, perbedaan elevasi ini diabaikan karena kecil, tetapi untuk masjid-masjid yang berada di dataran tinggi atau menggunakan menara yang sangat tinggi (seperti Masjid Sheikh Zayed Solo), koreksi ketinggian perlu ditambahkan.
Rumus koreksi ketinggian (C) ini melibatkan akar kuadrat dari ketinggian tempat (H):
C ≈ 1.76 × √H (dalam menit busur)
Koreksi ini kemudian ditambahkan ke sudut depresi 0° 50’ standar. Ini adalah level presisi yang harus dipertimbangkan untuk mendapatkan jadwal yang mutlak benar di Surakarta.
Salah satu variabel paling penting dalam hisab adalah Persamaan Waktu (E). Ini adalah perbedaan antara waktu Matahari sejati (yang kita lihat) dan waktu Matahari rata-rata (yang ditampilkan pada jam dinding). Perbedaan ini disebabkan oleh dua faktor astronomi:
Persamaan Waktu ini menyebabkan waktu Maghrib, meskipun pada hari yang sama dari minggu ke minggu, tidak akan selalu berubah dengan interval waktu yang sama. Ia berfluktuasi hingga ±16 menit sepanjang tahun. Perhitungan Hisab di Solo memasukkan nilai E harian ini ke dalam rumus dasar untuk mendapatkan jam lokal yang tepat. Jika nilai E ini positif, Maghrib akan tiba sedikit lebih lambat dari waktu rata-rata; jika negatif, ia tiba lebih cepat. Inilah alasan mendasar mengapa kalender shalat harus berbasis harian, bukan mingguan, demi mencapai akurasi tertinggi untuk adzan maghrib Solo hari ini.
Meskipun waktu Maghrib secara visual dan Fiqh dimulai saat piringan Matahari hilang, ada pembahasan yang sangat mendalam di kalangan ulama Nusantara mengenai kehati-hatian. Beberapa ulama di Indonesia, untuk memastikan shalat benar-benar dilakukan setelah Matahari terbenam total, menerapkan prinsip kehati-hatian (ihtiyat) beberapa detik setelah waktu yang dihitung secara matematis.
Namun, dalam konsensus modern Kemenag, sudut 0° 50’ sudah dianggap cukup mencakup faktor refraksi dan semi-diameter, menghilangkan kebutuhan untuk menambah ihtiyat yang berlebihan. Ini menunjukkan keseimbangan antara ketaatan mutlak pada syariat (memastikan terbenam) dan presisi ilmu pengetahuan modern (hisab).
Pendalaman ini penting karena Solo, sebagai pusat pendidikan Islam tradisional (pesantren) dan modern (universitas), memiliki tradisi ilmu falak yang kuat. Perdebatan akademis mengenai sudut depresi dan koreksi atmosfer telah berlangsung sejak masa Walisongo, memastikan bahwa praktik ibadah yang dilakukan oleh warga Solo memiliki landasan ilmiah dan fiqh yang kokoh.
Adzan Maghrib tidak hanya memiliki implikasi spiritual dan ilmiah; ia juga mengatur denyut sosial dan ekonomi Kota Solo. Perubahan ritme kota menjelang dan sesudah Adzan adalah fenomena sosial yang menarik.
Menjelang Maghrib, aktivitas niaga di pasar-pasar tradisional Solo, seperti Pasar Gede dan Pasar Klewer, seringkali mengalami percepatan dan kemudian berhenti mendadak. Para pedagang, terutama yang muslim, bergegas menyelesaikan transaksi atau menutup toko sementara untuk mendirikan shalat. Fenomena ini menciptakan gelombang aktivitas yang cepat sebelum ketenangan Maghrib tiba.
Kontrol waktu Maghrib ini menunjukkan kekuatan kolektif masyarakat Solo dalam mendahulukan kewajiban agama di atas keuntungan duniawi, sebuah ciri khas masyarakat Jawa yang religius.
Surakarta dikenal sebagai kota yang menjunjung tinggi toleransi. Kumandang Adzan Maghrib, meskipun merupakan ritual Islam, disadari dan dihormati oleh warga non-muslim. Saat adzan berkumandang, suara dari menara masjid menyebar melintasi batas-batas permukiman dan kelompok etnis, menciptakan jeda waktu yang dihormati secara kolektif.
Di lingkungan Keraton, penentuan waktu ini bahkan melibatkan tradisi Jawa yang non-sektarian. Waktu Maghrib seringkali diselaraskan dengan bunyi kentongan atau bedug, sebuah warisan sinkretisme Jawa-Islam yang memastikan bahwa seluruh warga, terlepas dari latar belakangnya, menyadari bahwa hari telah berganti dan telah tiba waktu untuk kembali ke rumah atau menunaikan kewajiban.
Mengetahui jadwal adzan maghrib Solo hari ini adalah tugas yang memerlukan ketelitian ilmu falak, kepatuhan fiqh, dan apresiasi terhadap budaya yang mengelilinginya. Dari perhitungan sudut Matahari di bawah ufuk, koreksi refraksi atmosfer, hingga penggunaan koordinat lintang bujur spesifik Surakarta, setiap detik jadwal shalat ini adalah hasil kerja keras para ulama dan ahli hisab.
Kumandang Adzan Maghrib di Surakarta bukan hanya suara di udara; ia adalah penegas identitas kota, perpaduan sempurna antara ilmu pengetahuan langit dan kearifan bumi. Ia mengajak seluruh warga, hari ini dan setiap hari, untuk meninggalkan kesibukan dunia sejenak dan meraih kemenangan abadi melalui sujud yang khusyuk.
Dengan disiplin waktu yang ketat ini, umat di Solo dapat memastikan bahwa shalat Maghrib mereka didirikan pada waktu terbaik, menyambut malam dengan hati yang damai dan penuh syukur, siap melanjutkan ibadah hingga terbit fajar kembali.