Ketika matahari perlahan mulai condong ke barat, membelah garis tengah hari, sebuah seruan terdengar. Seruan itu, yang kita kenal sebagai Adzan Ashar, bukan sekadar penanda waktu salat, melainkan sebuah jeda spiritual yang krusial. Ashar adalah titik balik energi harian, momen pertanggungjawaban atas separuh hari yang telah berlalu, dan persiapan untuk malam yang akan datang. Memahami Adzan Ashar hari ini berarti memahami siklus ibadah yang tak terputus, yang menancapkan akar ketenangan di tengah hiruk pikuk kehidupan modern.
Panggilan ini memiliki kedalaman filosofis dan hukum (fiqh) yang luar biasa. Ia adalah pilar ketiga dari lima salat wajib, namun sering disebut dengan gelar istimewa: Shalatul Wusta (Salat Pertengahan). Dalam kajian ini, kita akan menelusuri setiap aspek dari panggilan agung ini, dari sejarah dan lafalnya, hingga perdebatan fiqh terperinci mengenai awal dan akhir waktunya, serta implikasi spiritualnya bagi seorang hamba.
Adzan, secara etimologis, berarti 'pengumuman' atau 'pemberitahuan'. Dalam konteks syariat Islam, Adzan adalah pengumuman resmi masuknya waktu salat wajib dengan lafal-lafal tertentu yang telah ditetapkan. Meskipun Adzan dikumandangkan lima kali sehari, Adzan Ashar memiliki resonansi unik karena posisinya di sore hari, saat kebanyakan manusia sedang sibuk dengan urusan dunia mereka, baik pekerjaan, perdagangan, maupun istirahat. Ia adalah pengingat bahwa di tengah kesibukan materi, janji kepada Sang Pencipta harus tetap dipenuhi.
Legitimasi Adzan berakar pada masa awal Islam di Madinah. Sebelum ditetapkan, para Sahabat berdiskusi mengenai cara terbaik untuk memanggil umat Muslim berkumpul untuk salat. Beberapa mengusulkan lonceng (seperti Nasrani), yang lain mengusulkan terompet (seperti Yahudi). Namun, ide ini ditolak. Akhirnya, Allah mewahyukan melalui mimpi yang dialami oleh Sahabat Abdullah bin Zaid, yang kemudian diverifikasi oleh mimpi Umar bin Khattab r.a., mengenai lafal Adzan yang kita kenal saat ini.
Adzan Ashar, seperti Adzan lainnya, adalah proklamasi Tauhid (keesaan Allah) dan pengakuan kenabian Muhammad s.a.w. Ini bukan sekadar alarm, melainkan sebuah ritual pemberitahuan yang mengandung kekuatan spiritual yang masif. Setiap kalimatnya membawa janji dan peringatan. Ketika muadzin mengucapkan "Hayya ‘alal Falah" (Mari menuju kemenangan/kejayaan), itu adalah janji bahwa kejayaan hakiki bukan terletak pada harta yang dikumpulkan di siang hari, melainkan pada ketenangan yang didapat dari berdiri menghadap Allah.
Mendengarkan Adzan bukanlah tindakan pasif. Fiqh (jurisprudensi) menetapkan bahwa mustahab (dianjurkan) bagi setiap Muslim yang mendengarnya untuk menjawab setiap lafal Adzan dengan mengulanginya, kecuali pada kalimat Hayya ‘alash shalah dan Hayya ‘alal Falah, di mana kita disunahkan menjawab dengan “La haula wa la quwwata illa billah” (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Jawaban ini adalah pengakuan atas kelemahan diri dan ketergantungan total kepada Allah untuk mampu memenuhi panggilan tersebut, terutama pada waktu Ashar ketika energi fisik seringkali menurun.
Salat Ashar memiliki kedudukan yang sangat istimewa, ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ia adalah salat yang berada di persimpangan waktu, menandai transisi dari terang benderang menuju senja. Oleh karena itu, hukum-hukum seputar waktu Ashar dibahas secara sangat mendalam dalam semua mazhab Fiqh.
Waktu Ashar dimulai ketika bayangan suatu benda menjadi sepanjang benda itu sendiri ditambah panjang bayangan yang terbentuk pada saat waktu Dhuhr (Zawal). Namun, ada perbedaan pendapat utama di kalangan ulama mengenai definisi tepat panjang bayangan tersebut:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu Ashar dimulai ketika panjang bayangan suatu benda sama dengan panjang benda tersebut, setelah dikurangi bayangan zawal (bayangan terpendek saat matahari di puncak). Ini dikenal sebagai Mitsl Awwal (Satu Misil Pertama). Ini adalah pandangan yang paling umum digunakan dalam penentuan jadwal salat hari ini di sebagian besar negara.
Mazhab Hanafi, yang dikenal karena kehati-hatiannya (ihtiyat), berpendapat bahwa waktu Ashar baru dimulai ketika panjang bayangan suatu benda mencapai dua kali lipat panjang benda itu sendiri, ditambah bayangan zawal. Ini dikenal sebagai Mitsl Tsani (Dua Misil). Pandangan Hanafi menunda waktu Ashar lebih lama, memberikan jeda waktu lebih panjang setelah Dhuhr. Bagi mereka yang mengikuti pandangan ini, Adzan Ashar hari ini akan dikumandangkan sedikit lebih lambat.
Perbedaan ini, meskipun terlihat teknis, menunjukkan betapa pentingnya presisi waktu dalam Islam. Kewajiban salat Ashar harus dipenuhi dalam batas waktu yang ketat.
Waktu Ashar memiliki dua batas akhir yang penting dipahami:
Hadits sering memperingatkan keras tentang menunda Ashar hingga waktu menguning. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Itulah salat orang munafik, ia duduk menunggu matahari, hingga ketika matahari berada di antara dua tanduk setan (hampir terbenam), ia pun berdiri dan mematuk (salat) empat rakaat, tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja." (HR. Muslim). Peringatan ini menegaskan pentingnya menunaikan Ashar saat Adzan Ashar hari ini berkumandang, tanpa menundanya hingga menjelang Maghrib.
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah, ayat 238: "Peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyu'."
Mayoritas ulama tafsir, berdasarkan riwayat-riwayat yang kuat, sepakat bahwa yang dimaksud dengan Shalatul Wusta adalah Salat Ashar. Keistimewaan ini didasarkan pada beberapa faktor:
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa meninggalkan salat Ashar, maka seakan-akan dia telah kehilangan keluarga dan hartanya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Ungkapan "kehilangan keluarga dan hartanya" menunjukkan betapa besarnya kerugian spiritual yang dialami seseorang yang melalaikan Ashar, sebuah peringatan keras bagi kita yang mendengarkan Adzan Ashar hari ini.
Kajian fiqh mengenai salat Ashar tidak berhenti pada penetapan waktunya saja. Praktik salat ini seringkali melibatkan hukum-hukum lain, seperti salat Sunnah, Jamak (menggabung), dan Qashar (meringkas), yang sangat relevan dalam kehidupan Muslim yang dinamis hari ini.
Ashar termasuk salat yang memiliki Sunnah Qabliyah (sebelum salat wajib) namun tidak memiliki Sunnah Ba’diyah (setelah salat wajib). Salat Sunnah Qabliyah Ashar hukumnya Ghairu Muakkadah (tidak ditekankan), berbeda dengan Qabliyah Subuh atau Dhuhr yang Muakkadah (ditekankan).
Meskipun demikian, terdapat hadits yang sangat menganjurkan pelaksanaan empat rakaat sebelum Ashar. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang salat empat rakaat sebelum Ashar." (HR. Tirmidzi). Empat rakaat ini dilakukan dengan dua kali salam (dua rakaat, salam, kemudian dua rakaat lagi). Melaksanakan sunnah ini setelah Adzan Ashar hari ini merupakan bentuk kesempurnaan ibadah dan cinta kepada Sunnah Nabi.
Bagi musafir (orang yang bepergian), Ashar menjadi salah satu salat yang bisa di-Qashar (diringkas dari empat menjadi dua rakaat) dan di-Jamak (digabungkan) dengan Dhuhr.
Ashar dapat digabungkan dengan Dhuhr dan dilaksanakan pada waktu Dhuhr. Persyaratan Jamak Taqdm adalah niat jamak harus dilakukan pada saat salat Dhuhr, dan harus berkesinambungan (tidak ada jeda panjang antara salat Dhuhr dan Ashar).
Ashar dapat dilaksanakan bersama Dhuhr pada waktu Ashar. Persyaratan Jamak Ta’khir adalah niat untuk mengakhirkan salat Dhuhr ke waktu Ashar harus dilakukan sebelum waktu Dhuhr berakhir (sebelum Adzan Ashar berkumandang).
Penting untuk dicatat bahwa keringanan (rukhshah) ini hanya berlaku untuk musafir yang memenuhi syarat jarak perjalanan syar'i (umumnya sekitar 81 km atau lebih, meskipun ada perbedaan pendapat mazhab) dan kondisi tertentu.
Setelah melaksanakan salat Ashar, umat Muslim dianjurkan untuk tidak melaksanakan salat sunnah (kecuali yang memiliki sebab/shubab, seperti salat tahiyatul masjid atau wudhu) hingga matahari terbenam. Periode antara selesainya Ashar hingga Maghrib (sering disebut waktu ihtirar atau menguning) adalah waktu istirahat dan dzikir. Ini adalah waktu di mana amal ibadah yang lain—seperti membaca Al-Qur'an, berdzikir, dan mencari ilmu—ditekankan, sementara salat sunnah dilarang untuk menghindari keserupaan dengan tradisi penyembah matahari.
Maka, bagi yang telah menunaikan Ashar setelah Adzan Ashar hari ini, fokus ibadah dialihkan kepada dzikir petang dan doa ma’tsurat.
Selain aspek fiqh yang mengatur waktu dan tata cara, Ashar membawa makna spiritual yang mendalam dalam perjalanan harian seorang Muslim. Ini adalah momen refleksi dan evaluasi.
Ketika Adzan Ashar berkumandang, seorang Muslim diajak untuk berhenti sejenak dan meninjau kembali tindakan-tindakan yang telah dilakukan sejak Subuh. Apakah janji yang diucapkan saat memulai hari telah ditepati? Apakah waktu yang diberikan telah digunakan untuk hal yang bermanfaat? Ashar menjadi pengingat tegas tentang surah Al-'Asr (Demi Masa):
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-'Asr, 1-3)
Ashar, yang juga berarti ‘waktu sore’, secara langsung berhubungan dengan sumpah Allah dalam surah ini. Waktu sore adalah simbol dari sisa waktu hidup kita yang kian menipis. Jika hari ini adalah miniatur kehidupan, maka Ashar adalah usia paruh baya—waktu di mana kita harus mempercepat amal shalih sebelum matahari kehidupan terbenam (Maghrib).
Kekhusyukan dalam salat Ashar menjadi penentu bagaimana kita mengakhiri hari dan menyambut malam. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda bahwa malaikat silih berganti pada waktu Subuh dan Ashar. Ini berarti Ashar adalah waktu di mana laporan amal siang hari kita diangkat kepada Allah, menjadikannya momen yang sangat krusial bagi pencatatan amal.
Salah satu kisah historis yang menonjolkan pentingnya Ashar terkait dengan Nabi Sulaiman a.s. Dalam sebuah riwayat, Nabi Sulaiman begitu asyik menikmati pertunjukan kuda-kuda yang cepat dan perkasa hingga beliau lupa atau lalai melaksanakan salat Ashar tepat pada waktunya. Ketika menyadari kelalaiannya, beliau menyesali perbuatannya dan memerintahkan kuda-kuda itu dikembalikan, lalu memotong leher dan betis kuda-kuda tersebut sebagai bentuk tebusan dan penyesalan karena harta dunia telah mengalihkan perhatiannya dari salat. Meskipun detail riwayat dan tafsirnya beragam, inti dari kisah ini adalah: bahkan raja yang paling kaya dan berkuasa pun tidak boleh melalaikan Ashar karena urusan dunia.
Peringatan ini bergema kuat bagi setiap Muslim hari ini, di tengah godaan teknologi dan kesibukan yang jauh lebih besar daripada kuda-kuda Nabi Sulaiman. Adzan Ashar hari ini adalah pengingat untuk meninggalkan perangkat, pekerjaan, dan hiburan, demi memenuhi panggilan Ilahi.
Mengingat kedudukan Ashar sebagai Shalatul Wusta, fiqh memberikan penekanan luar biasa pada bahaya melalaikannya. Jika seseorang tertidur atau lupa melaksanakan salat, hukumnya adalah wajib meng-qadha’ (mengganti) salat tersebut segera setelah ia sadar atau terbangun. Namun, jika seseorang meninggalkannya dengan sengaja, hukumnya jauh lebih berat dan menjadi perdebatan besar ulama.
Dalam pandangan ulama, meninggalkan satu salat wajib dengan sengaja adalah dosa besar. Khusus untuk Ashar, beberapa ulama bahkan mengaitkannya dengan kekufuran, merujuk pada hadits tentang kehilangan keluarga dan harta.
Perbedaan Pendapat tentang Qadha' Salat yang Ditinggalkan Sengaja:
Terlepas dari perbedaan pandangan ini, kesimpulannya tetap sama: bahaya melalaikan Ashar adalah kerugian abadi. Kesungguhan saat Adzan Ashar hari ini berkumandang adalah kunci untuk menghindari perdebatan fiqh yang rumit ini di hari akhir.
Bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun—sakit parah, di medan perang, atau dalam ketakutan—salat Ashar tidak boleh ditinggalkan. Keringanan yang diberikan hanyalah pada tata cara (misalnya salat sambil duduk, berbaring, atau dengan isyarat) dan pada penggabungan (Jamak) jika sedang dalam perjalanan atau kesulitan yang luar biasa.
Contoh paling ekstrem adalah dalam shalatul khauf (salat dalam keadaan takut/perang). Nabi Muhammad s.a.w. dan para Sahabat pernah terlambat melaksanakan Ashar dalam perang Khandaq karena serangan musuh yang sangat intens. Keterlambatan ini bukan karena lalai, tetapi karena kondisi darurat perang yang membuat mereka tidak bisa melaksanakan salat secara normal. Meskipun terlambat, Nabi s.a.w. tetap meng-qadha' Ashar dan Dhuhr setelah musuh mundur, menunjukkan bahwa kewajiban Ashar adalah mutlak.
Adzan Ashar hari ini bukan hanya masalah pribadi antara hamba dan Rabb-nya, tetapi juga memiliki implikasi sosial dan komunitas yang kuat, terutama di era modern.
Masjid dan muadzin adalah penjaga waktu. Ketika Adzan Ashar terdengar, ia menyatukan komunitas. Di lingkungan perkotaan yang bising, Adzan menjadi penanda spiritual yang membedakan waktu ibadah dari waktu kerja. Kualitas suara dan ketepatan waktu Adzan memiliki dampak besar pada kepatuhan jamaah.
Muadzin, sebagai orang yang mengumandangkan Adzan, memegang peran mulia. Rasulullah s.a.w. memuji kedudukan muadzin, menyebutkan bahwa leher mereka akan menjadi yang terpanjang pada Hari Kiamat, sebagai simbol kehormatan. Oleh karena itu, penting bagi komunitas untuk memastikan muadzin melaksanakan tugas mereka dengan ilmu dan penuh kesadaran akan tanggung jawab ini.
Banyak Muslim yang menerapkan manajemen waktu harian mereka berpusat pada lima waktu salat. Ashar seringkali menjadi batas akhir produktivitas kerja duniawi yang intens sebelum masuknya waktu Maghrib, yang biasanya dikhususkan untuk keluarga dan dzikir petang.
Strategi Muslim yang efektif adalah: mengakhiri tugas-tugas berat sebelum Adzan Ashar, menggunakan waktu Adzan untuk berwudhu dan beristirahat sejenak, melaksanakan salat Ashar dengan khusyuk, dan menggunakan waktu antara Ashar hingga Maghrib untuk tugas yang ringan, membaca Al-Qur'an, atau belajar.
Mengabaikan Adzan Ashar hari ini dapat mengakibatkan runtuhnya struktur waktu spiritual, di mana pekerjaan duniawi merembes ke dalam waktu yang seharusnya didedikasikan untuk ibadah dan keluarga.
Seperti Adzan lainnya, setelah Adzan Ashar berakhir, disunahkan membaca doa yang ma’tsur (bersumber dari Nabi), yaitu doa yang memohon wasilah (kedudukan) dan fadhilah (keutamaan) bagi Nabi Muhammad s.a.w., serta memohon agar kita mendapatkan syafaat beliau.
Doa yang paling umum adalah: "Allahumma Rabba hadzihid-da'watit-tammah, wash-shalatil qa'imah, ati Muhammadanil-wasilata wal-fadhilah, wab'atshu maqamam mahmudanil-ladzi wa'adtah."
Doa ini menutup siklus panggilan Ashar dengan pengakuan total akan kebesaran Allah dan permohonan syafaat, mengakhiri jeda spiritual yang telah kita ambil dari rutinitas harian.
Untuk melengkapi pembahasan tentang Ashar, perlu diuraikan beberapa detail fiqh lanjutan dan etika yang jarang disadari, namun sangat penting untuk kesempurnaan salat empat rakaat ini.
Niat adalah rukun hati (bukan ucapan). Niat salat Ashar harus mencakup tiga elemen dasar: Qashdul Fi'li (maksud melakukan salat), Ta'yinul Salati (menentukan jenis salat, yaitu Ashar), dan Fardiyyah (menyatakan bahwa salat ini adalah fardhu). Niat dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram.
Dalam kondisi jamak (misalnya Jamak Ta’khir Ashar ke waktu Dhuhr), niat harus spesifik menyebutkan bahwa Ashar digabungkan dengan Dhuhr. Detail niat ini menegaskan kesadaran penuh seorang Muslim terhadap ibadah yang sedang ia tunaikan setelah Adzan Ashar hari ini.
Ashar adalah salat empat rakaat. Dalam salat empat rakaat, terdapat dua tasyahud:
Seringkali, karena kelelahan sore hari, konsentrasi pada Tasyahud Awwal cenderung menurun. Penting untuk menjaga ketenangan (thuma'ninah) dan fokus pada bacaan tasyahud, karena ini adalah salah satu momen kunci dalam Ashar.
Thuma’ninah (berhenti sejenak, tenang, dan mantap dalam setiap gerakan) adalah rukun salat yang wajib dipenuhi. Dalam salat Ashar, yang sering dilakukan setelah lelahnya bekerja, ada kecenderungan untuk terburu-buru. Melanggar thuma’ninah membuat salat tidak sah. Rasulullah s.a.w. pernah menegur keras seorang Sahabat yang salat terlalu cepat, memerintahkannya mengulang salat karena tidak ada thuma’ninah.
Oleh karena itu, ketika Adzan Ashar hari ini memanggil, kita harus melawan dorongan untuk cepat-cepat menyelesaikannya. Salat Ashar yang khusyuk memerlukan dedikasi penuh selama kurang lebih sepuluh hingga lima belas menit.
Melaksanakan salat Ashar tepat waktu, di samping kewajiban agama, membawa manfaat signifikan bagi kesehatan mental, fisik, dan ritme sirkadian tubuh.
Ritme sirkadian adalah jam internal tubuh. Salat lima waktu, termasuk Ashar, berfungsi sebagai penanda waktu yang kuat. Ashar, yang terletak di fase transisi antara siang penuh dan petang, memaksa tubuh untuk melakukan jeda fisik dan mental. Jeda ini mencegah kelelahan berlebihan di akhir hari. Para ilmuwan mengakui bahwa jeda singkat dan teratur dapat meningkatkan fokus dan produktivitas secara keseluruhan, yang secara alami terjadi melalui pelaksanaan wudhu dan salat.
Sore hari seringkali menjadi puncak stres dan kelelahan (fatigue). Wudhu dengan air dingin memiliki efek menenangkan secara fisik, merangsang sistem saraf parasimpatik yang bertanggung jawab untuk 'istirahat dan cerna'. Kemudian, gerakan salat (rukuk, sujud) yang dilakukan secara perlahan dengan fokus pada bacaan, berfungsi sebagai meditasi aktif. Salat Ashar adalah pelepas stres yang efektif sebelum menghadapi tuntutan sore hari atau perjalanan pulang.
Kekhusyukan yang dilatih saat Ashar membantu meningkatkan kemampuan konsentrasi. Latihan mengabaikan gangguan luar dan fokus pada dialog dengan Allah dapat diterjemahkan menjadi fokus yang lebih baik dalam tugas-tugas duniawi. Selain itu, dengan menunaikan Ashar tepat waktu, seorang Muslim menjaga janji spiritualnya, yang secara psikologis memberikan rasa damai dan kepuasan, berkontribusi pada kualitas tidur yang lebih baik di malam hari, jauh dari rasa bersalah atau kecemasan karena melalaikan kewajiban.
Penentuan Adzan Ashar hari ini di berbagai belahan dunia dapat sangat berbeda, terutama di wilayah yang mendekati kutub atau di musim panas ekstrem, di mana panjang siang hari bisa sangat panjang atau sangat pendek.
Di wilayah subtropis dan lintang utara yang tinggi, perbedaan panjang waktu siang antara musim panas dan musim dingin sangat signifikan. Di musim panas, Ashar mungkin baru masuk sangat larut, dan waktu antara Ashar dan Maghrib menjadi sangat singkat (sehingga memicu Jamak di beberapa mazhab yang memperbolehkan Jamak saat kesulitan/hajj/kerja keras). Sebaliknya, di musim dingin, waktu Ashar bisa masuk lebih cepat.
Dalam kondisi ekstrem ini, lembaga fatwa (seperti ISNA, Liga Dunia Muslim, atau kriteria Ummul Qura) menggunakan metode matematis yang cermat untuk memastikan waktu salat tetap adil dan konsisten, meskipun seringkali harus memilih satu di antara dua misil (Mitsl Awwal atau Mitsl Tsani) sebagai standar waktu Ashar.
Penentuan Adzan Ashar hari ini bergantung pada ilmu astronomi Islam, atau Ilmu Falak. Perhitungan ini melibatkan:
Ilmuwan Muslim sepanjang sejarah telah mengembangkan instrumen canggih (seperti astrolab dan jam matahari) untuk menentukan waktu Ashar dengan akurasi tinggi. Hari ini, perhitungan dilakukan oleh perangkat lunak, namun prinsip dasarnya tetap sama: menghitung kapan bayangan benda mencapai satu misil atau dua misil, sesuai dengan mazhab yang diikuti.
Kesadaran akan perhitungan yang detail ini seharusnya menumbuhkan penghargaan yang lebih besar terhadap kemudahan yang kita nikmati saat mendengarkan Adzan Ashar hari ini, yang telah ditentukan melalui proses ilmiah dan fiqh yang ketat.
Adzan Ashar hari ini adalah perwujudan dari rahmat dan kasih sayang Allah. Ia adalah undangan untuk membersihkan diri dari kotoran duniawi yang melekat selama aktivitas siang hari, dan untuk menegaskan kembali komitmen kita sebagai hamba sebelum senja tiba. Shalatul Wusta, sang salat pertengahan yang memiliki keutamaan luar biasa, mengajarkan kita tentang pentingnya ketahanan (istiqamah) dan pengawasan diri (muhasabah).
Setiap Muslim harus berusaha keras untuk melaksanakan Ashar di awal waktunya (fadhilatul waqt) dan dalam jamaah, untuk mendapatkan pahala yang dijanjikan. Jangan biarkan kesibukan, teknologi, atau kelelahan menjadi alasan untuk menunda salat yang memiliki peringatan keras dari Nabi s.a.w. jika ditinggalkan.
Ketika suara muadzin meninggi di sore hari, mengucapkan "Allahu Akbar, Allahu Akbar", itu adalah panggilan untuk kembali ke esensi. Ia adalah pengingat bahwa meskipun kita mengejar rezeki dunia, rezeki sejati adalah kedekatan dengan Sang Khalik. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga Ashar, dan termasuk orang-orang yang beruntung, sebagaimana yang diuraikan dalam Surah Al-'Asr. Memenuhi panggilan Adzan Ashar hari ini adalah investasi abadi untuk kehidupan di akhirat.