Representasi visual dualitas dan pengkhianatan dalam karakter Abdullah bin Ubay.
Sejarah Islam awal dipenuhi dengan kisah perjuangan epik melawan musuh-musuh eksternal, seperti Quraisy Mekah dan suku-suku Badui yang agresif. Namun, salah satu ancaman paling berbahaya yang dihadapi Nabi Muhammad ﷺ dan komunitas Muslim yang baru lahir bukanlah berasal dari luar, melainkan dari dalam: kaum Munafiqun. Dan di pusat jaringan pengkhianatan internal ini berdiri satu figur yang namanya abadi dalam catatan sejarah dan wahyu Al-Qur'an—Abdullah bin Ubay bin Salul.
Abdullah bin Ubay bukanlah sekadar anggota biasa dari kelompok oposisi. Ia adalah pemimpinnya, arsitek dari keraguan, dan penggerak utama intrik politik di Madinah (Yatsrib). Pemahamannya tentang struktur sosial dan politik Madinah, serta ambisinya yang terhalang, menjadikannya musuh yang lebih licik dan sulit ditangani daripada musuh-musuh yang berhadapan langsung di medan perang.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam motif, taktik, dan dampak spiritual serta politik dari Abdullah bin Ubay. Kami akan mengupas bagaimana kekecewaannya mengubah dirinya dari seorang calon raja menjadi pemimpin kaum munafik, dan bagaimana Al-Qur'an secara spesifik mengidentifikasi serta merespons ancaman yang ditimbulkannya, terutama melalui kajian ekstensif terhadap Surah Al-Munafiqun dan ayat-ayat terkait lainnya.
Untuk memahami motif Abdullah bin Ubay, kita harus kembali ke periode sebelum Hijrah (migrasi) Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Kota Yatsrib saat itu didominasi oleh konflik berdarah antara dua suku utama: Aus dan Khazraj. Abdullah bin Ubay adalah pemimpin terkemuka dari suku Khazraj, seorang tokoh yang dihormati, cerdas, dan memiliki pengaruh besar di antara kedua suku.
Sebelum kedatangan Nabi, terjadi kesepakatan di antara Aus dan Khazraj untuk mengakhiri pertumpahan darah. Dalam upaya penyatuan ini, Abdullah bin Ubay di ambang pengangkatan sebagai raja atau pemimpin tertinggi seluruh Yatsrib. Mahkota sudah hampir dikenakan di kepalanya. Kehadiran dan penerimaan Nabi Muhammad ﷺ oleh penduduk Yatsrib, yang kemudian berganti nama menjadi Madinah, secara efektif menggagalkan ambisi politik puncak Abdullah bin Ubay. Dalam semalam, ia kehilangan kekuasaan absolut dan harus menghadapi kenyataan bahwa kepemimpinan telah beralih ke tangan seorang pendatang dari Mekah.
Resentimen inilah yang menjadi sumbu api bagi seluruh tindakannya di masa depan. Bagi Abdullah bin Ubay, Islam hanyalah alat politik yang telah merenggut kekuasaannya. Oleh karena itu, ia memilih jalan 'kemunafikan': secara lahiriah memeluk Islam agar tetap relevan dalam struktur kekuasaan yang baru, namun secara batiniah bertekad merusak dan menggoyahkan masyarakat Muslim dari dalam.
Al-Qur'an memberikan perhatian khusus terhadap kaum Munafiqun, mengklasifikasikannya sebagai ancaman yang lebih berbahaya daripada kaum Musyrikin atau Yahudi yang beroposisi secara terbuka. Surah Al-Baqarah, ketika menjelaskan tiga jenis manusia (Mukmin, Kafir, Munafik), menghabiskan ayat paling banyak untuk Munafiqun, menunjukkan kompleksitas dan bahaya mereka. Abdullah bin Ubay adalah manifestasi sempurna dari kategori ini.
Mereka (kaum Munafiqun) berkata dengan lidah mereka apa yang tidak ada dalam hati mereka. Mereka lebih bahaya daripada yang memerangi kalian, sebab mereka menyertai kalian di masjid dan di pasar, mengetahui rahasia kalian.
Taktik Abdullah bin Ubay tidak pernah berupa konfrontasi langsung. Sebaliknya, ia menggunakan:
Peristiwa ini adalah demonstrasi publik pertama dari kemunafikan Abdullah bin Ubay. Ketika pasukan Muslim bergerak menuju Uhud untuk menghadapi Quraisy, ia memimpin sekitar 300 pasukannya (sepertiga dari total kekuatan Muslim) untuk berbalik kembali ke Madinah. Alasannya, sebagaimana yang ia klaim, adalah ketidaksepakatan taktis dengan Nabi ﷺ mengenai lokasi pertempuran. Namun, inti dari pembelotan itu adalah untuk merusak moral dan kekuatan fisik tentara Muslim saat mereka paling membutuhkannya.
Pembelotan tersebut hampir fatal bagi kaum Muslim. Kepergian sepertiga pasukan menciptakan lubang besar pada barisan dan moral. Bahkan, saat itu, banyak tokoh Ansar yang imannya lemah hampir ikut mundur, tetapi diyakinkan kembali oleh Abdullah bin Amr bin Haram. Tindakan Bin Ubay ini terekam dalam Surah Ali Imran, yang memperingatkan kaum Mukmin terhadap orang-orang yang berkhianat:
Pengkhianatan ini bukan hanya taktis, tetapi juga teologis. Hal ini menegaskan bahwa kemunafikan memiliki dampak langsung pada keselamatan komunitas, karena ia menciptakan kelemahan struktural di saat yang paling rentan.
Puncak dari perlawanan Bin Ubay terjadi selama kampanye melawan Bani Mustaliq. Setelah kemenangan Muslim, saat perjalanan pulang, terjadi perselisihan kecil antara seorang Muhajirin dan seorang Ansar mengenai akses air. Abdullah bin Ubay segera memanfaatkan insiden sepele ini untuk menyulut api perpecahan tribal yang lama.
Ia berteriak kepada kaumnya dari Khazraj: "Mereka (Muhajirin) telah menyaingi kita dan mengambil alih tanah kita. Demi Allah, perumpamaan kita dan mereka hanyalah seperti yang dikatakan pepatah: 'Berilah anjingmu makan, niscaya ia akan memakanmu.' Jika kita kembali ke Madinah, sungguh orang yang mulia (yakni dirinya sendiri) akan mengusir orang yang hina (yakni Nabi Muhammad ﷺ dan kaum Muhajirin)."
Ucapan ini segera sampai kepada Nabi. Ketika Umar bin Khattab r.a. meminta izin untuk membunuh Bin Ubay, Nabi menolak, dengan alasan: "Bagaimana jika orang-orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri?" Nabi menyadari bahwa eksekusi akan memberi Bin Ubay status martir di mata suku Khazraj, yang hanya akan memperdalam perpecahan.
Sebagai respons langsung terhadap insiden ini, Allah menurunkan seluruh Surah Al-Munafiqun (Surah 63), yang secara eksplisit mengutuk Bin Ubay dan kelompoknya, mengabadikan ucapan pengkhianatan mereka, dan menjabarkan ciri-ciri kemunafikan.
Surah ini adalah dokumen sejarah yang luar biasa, membedah karakter Abdullah bin Ubay secara psikologis dan teologis. Untuk memenuhi kedalaman analisis, kita perlu menelaah setiap poin penting dalam surah ini.
Ayat ini menetapkan dualitas utama: pengakuan lisan ('Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasul Allah') berlawanan dengan realitas batin. Mereka menggunakan sumpah (seringkali demi nama Allah) sebagai tameng, menciptakan fasad keimanan yang sulit ditembus oleh hukum manusia. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa meskipun klaim mereka secara lahiriah benar (Nabi memang Rasul Allah), klaim mereka didasarkan pada kebohongan batin, menjadikannya 'kesaksian palsu' karena tidak didorong oleh keyakinan sejati.
Abdullah bin Ubay secara konsisten menggunakan taktik ini. Ia akan bersumpah di depan umum tentang kesetiaannya setiap kali perilakunya terbukti mencurigakan, memanfaatkan belas kasih dan kebijaksanaan Nabi yang selalu mengutamakan bukti lahiriah di hadapan orang banyak.
Sumpah palsu (aymaan) berfungsi ganda: melindungi diri dari hukuman duniawi dan pada saat yang sama, berfungsi sebagai perisai untuk aktivitas subversif mereka. Mereka menghalangi jalan Allah bukan hanya dengan tidak beriman, tetapi dengan menciptakan kekacauan dan keraguan di antara orang-orang beriman. Bagi Abdullah bin Ubay, ini berarti meyakinkan para pengikutnya (terutama dari Khazraj) untuk tidak berpartisipasi dalam jihad, menanamkan rasa tidak percaya terhadap Muhajirin, dan melemahkan komando militer Nabi.
Tafsir kontemporer menekankan bahwa penghalang ini adalah psikologis dan politik. Munafiqun menciptakan iklim ketidakpastian, yang jauh lebih merusak daripada serangan fisik, karena ia meruntuhkan fondasi persatuan yang merupakan kekuatan utama komunitas Madinah.
Ayat ini memberikan deskripsi fisik dan psikologis yang tajam, yang oleh para mufassir dikaitkan dengan Abdullah bin Ubay. Ia dikenal sebagai seorang yang rupawan, berpenampilan meyakinkan, dan berbicara dengan fasih. Secara lahiriah, ia tampak seperti seorang pemimpin terhormat. Namun, Al-Qur'an menyamakan mereka dengan 'kayu yang tersandar' (khushubun musannadah) – benda mati yang tidak memiliki isi, kemauan, atau manfaat sejati, meskipun memiliki penampilan yang tinggi dan tegak.
Bagian kedua ayat, ‘Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka,’ menyoroti kecurigaan dan paranoid mereka yang konstan. Karena mereka tahu hati mereka penuh pengkhianatan, setiap teguran atau diskusi di komunitas Muslim membuat mereka gelisah. Mereka adalah musuh sejati (al-'aduwwul-haqiqi) karena mereka beroperasi di bawah penyamaran, menjadikan mereka ancaman tersembunyi yang harus diwaspadai Nabi.
Jika pembelotan Uhud menunjukkan pengkhianatan militer dan insiden Mustaliq menunjukkan pengkhianatan politik, maka Peristiwa Ifk (slander/fitnah) menunjukkan kebusukan moral Abdullah bin Ubay.
Dalam peristiwa Ifk, di mana Aisyah r.a. dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh, Abdullah bin Ubay adalah dalang utama di balik penyebaran rumor tersebut. Ia tidak memulai rumor itu secara langsung (rumor dimulai oleh orang-orang yang lugu), tetapi ia memastikan bahwa rumor itu disebarkan dan diperkuat di seluruh Madinah, baik di masjid maupun di pertemuan umum. Ia menggunakan jaringannya untuk merusak kehormatan keluarga Nabi ﷺ dan menyebabkan penderitaan yang luar biasa pada Nabi dan Aisyah.
Al-Qur'an menangani masalah ini secara rinci dalam Surah An-Nur. Meskipun Bin Ubay tidak disebut namanya, para ulama sepakat bahwa ancaman dan hukuman yang dimaksudkan dalam ayat-ayat itu sebagian besar ditujukan kepadanya sebagai pemimpin kampanye fitnah.
Tujuan Bin Ubay dalam Ifk adalah ganda: 1) Merusak moral dan reputasi kepemimpinan Nabi. 2) Mengetes kesetiaan para pengikut Nabi. Ia ingin menunjukkan bahwa basis sosial Nabi bisa digoyahkan hanya dengan rumor yang jahat.
Abdullah bin Ubay memiliki hubungan tribal dan perjanjian kuno dengan beberapa suku Yahudi di Madinah, khususnya Bani Nadhir. Ketika Nabi Muhammad ﷺ memutuskan untuk mengusir Bani Nadhir karena pelanggaran perjanjian mereka, Bin Ubay kembali memainkan perannya sebagai penghasut tersembunyi.
Ia mengirim pesan kepada Bani Nadhir, meyakinkan mereka untuk tidak menyerah, menjanjikan: "Jangan keluar! Aku akan mendukungmu dengan 2.000 pria. Jika kamu diperangi, kami akan berperang bersamamu. Jika kamu diusir, kami akan pergi bersamamu."
Janji ini sepenuhnya palsu. Ketika Bani Nadhir dikepung dan meminta bantuan Bin Ubay, ia gagal menepati janjinya. Pengkhianatan Bin Ubay terhadap Bani Nadhir diabadikan dalam Surah Al-Hasyr:
Ayat ini secara definitif mengaitkan kemunafikan dengan kegagalan memenuhi janji dukungan, menyoroti bahwa dukungan Bin Ubay kepada musuh Islam hanyalah taktik untuk memperpanjang konflik dan melemahkan otoritas Nabi.
Kehadiran Bin Ubay memiliki implikasi sosiologis yang mendalam bagi Madinah. Ia mewakili resistensi terakhir dari sistem tribal lama. Islam menuntut kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya, melampaui ikatan darah (Asabiyyah). Abdullah bin Ubay, sebagai pemimpin yang terbiasa dengan ikatan kesukuan Khazraj, tidak dapat menerima konsep kepemimpinan universal yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Salah satu taktik paling menarik adalah bagaimana Nabi ﷺ menahan diri untuk tidak menghukum mati Bin Ubay. Selain kekhawatiran 'membunuh sahabat sendiri', ada faktor sosial yang penting: Nabi membiarkan Bin Ubay 'dipermalukan' secara sosial oleh putranya sendiri. Abdullah bin Abdullah bin Ubay, seorang Muslim yang saleh, memohon kepada Nabi agar ia diizinkan membunuh ayahnya untuk membuktikan kesetiaannya. Nabi menolak, tetapi mengizinkan sang anak untuk menghalangi ayahnya memasuki Madinah hingga mendapat izin Nabi. Ini adalah hukuman sosial yang parah, menunjukkan bahwa bahkan keluarga dekatnya pun telah berbalik melawannya.
Kisah ini menunjukkan bahwa otoritas moral Nabi lebih kuat daripada otoritas tribal Bin Ubay. Daripada menggunakan kekerasan, Nabi membiarkan masyarakat sendiri yang mengisolasi sang munafik, menunjukkan betapa imannya telah mengakar kuat di hati Ansar.
Puncak dari kisah Abdullah bin Ubay terjadi pada saat kematiannya. Ketika ia meninggal, putranya, Abdullah bin Abdullah, yang sangat saleh, meminta Nabi Muhammad ﷺ untuk memberikan kain kafan miliknya (Nabi), dan lebih lanjut, memohon Nabi untuk memimpin salat jenazah (Salat Al-Jana'iz) baginya.
Nabi ﷺ, dalam kemurahan hatinya yang tak terbatas dan demi memenangkan hati Khazraj, serta menghormati permintaan putranya yang setia, setuju. Ketika Umar bin Khattab r.a. memohon Nabi untuk tidak melakukan itu, mengingatkan Nabi akan semua kejahatan yang telah dilakukan Bin Ubay, Nabi menjawab: "Aku diberi pilihan (oleh Allah): Aku bisa memintakan ampunan atau tidak. Jika aku tahu memintakan ampunan lebih dari tujuh puluh kali akan membuatnya diampuni, aku akan melakukannya."
Setelah Nabi ﷺ selesai memimpin salat jenazah Bin Ubay, segera turunlah wahyu dari Surah At-Tawbah (Surah 9), yang secara definitif melarang Nabi dan kaum Mukminin untuk melakukan salat bagi kaum Munafiqun yang mati dan melarang mereka berdiri di kuburan mereka:
Ayat ini menetapkan batas yang jelas antara Munafiqun dan komunitas Muslim, bahkan setelah kematian. Larangan ini adalah hukum abadi yang mengakhiri kebijakan 'toleransi politik' yang diterapkan Nabi terhadap Bin Ubay selama hidupnya. Kebijakan itu diperlukan untuk mencegah perpecahan internal di Madinah, tetapi begitu Bin Ubay meninggal, Allah mengamankan komunitas dari bahaya spiritual dengan menyatakan bahwa mereka tidak layak mendapatkan doa dari kaum Mukmin.
Meskipun Abdullah bin Ubay telah tiada, kategorisasi dan peringatan tentang ‘Munafiqun’ tetap relevan sepanjang sejarah Islam. Kisahnya menjadi studi kasus permanen mengenai bahaya oposisi yang terselubung. Untuk memahami sepenuhnya kedalaman ancaman yang diwakilinya, kita harus kembali pada analisis yang lebih luas dari ayat-ayat yang diturunkan terkait kelompoknya.
Dalam Surah At-Tawbah, Al-Qur'an menggambarkan kaum Munafiqun dengan ciri-ciri yang sangat rinci, memastikan bahwa kaum Mukminin selalu dapat mengidentifikasi manifestasi kemunafikan di setiap era, melampaui sosok Bin Ubay:
Kata Nifaq sendiri berasal dari kata Arab yang berarti terowongan atau liang yang memiliki dua pintu keluar, yang digunakan oleh hewan gurun seperti tikus untuk melarikan diri jika satu pintu diblokir. Ini adalah metafora sempurna untuk kondisi batin Munafiqun: mereka memiliki dua wajah, dua pintu keluar. Satu wajah menghadap komunitas Muslim, yang lain menghadap musuh Islam, memungkinkan mereka untuk berpindah-pindah tergantung siapa yang lebih kuat pada saat itu.
Abdullah bin Ubay adalah kegagalan politik yang monumental. Meskipun ia berhasil menyebarkan kerusakan dan kesedihan, ia gagal mencapai tujuan utamanya: menggulingkan atau mengusir Nabi Muhammad ﷺ.
Ironisnya, setiap insiden yang digagas oleh Bin Ubay hanya berakhir dengan penguatan otoritas Nabi. Pembelotan di Uhud diikuti oleh pengampunan Nabi yang meningkatkan loyalitas; fitnah Ifk berakhir dengan pembenaran ilahi bagi Aisyah, yang secara definitif mengukuhkan kesucian rumah tangga Nabi; dan insiden Mustaliq menghasilkan wahyu (Surah Al-Munafiqun) yang memberikan Mukminin 'senjata' berupa pengetahuan untuk membedakan musuh internal mereka.
Warisan terpenting dari Bin Ubay bukanlah pada tindakannya, melainkan pada respons ilahi terhadapnya. Kisahnya mengajarkan komunitas Muslim bagaimana menghadapi oposisi internal: dengan kesabaran, kebijaksanaan politik, dan ketergantungan mutlak pada panduan wahyu untuk membedakan kebenaran dari kepalsuan.
Studi tentang Abdullah bin Ubay tidak terbatas pada sejarah abad ke-7. Ia adalah prototipe universal dari pengkhianat internal—seseorang yang menggunakan terminologi keimanan untuk memajukan agenda pribadi, politik, atau kekuasaan. Pelajaran dari kisah ini adalah perlunya:
Kisah hidup Abdullah bin Ubay adalah pengingat abadi bahwa ancaman terhadap sebuah komunitas seringkali datang bukan dari kekuatan pedang eksternal, melainkan dari virus kemunafikan dan perpecahan yang ditanamkan oleh mereka yang mencari keuntungan pribadi dalam bayang-bayang kesetiaan palsu.
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan seputar Bin Ubay adalah mengapa ia tidak pernah mengambil kesempatan untuk bertaubat, meskipun Nabi berulang kali memberikan kelonggaran. Jawabannya terletak pada keterikatan abadi pada ego dan ambisi politik yang terputus.
Bin Ubay tidak melihat Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah, melainkan sebagai saingan politik yang lebih berhasil. Setiap tindakannya, mulai dari desersi hingga fitnah, merupakan upaya untuk menegaskan kembali dominasinya yang hilang di mata suku Khazraj. Taubat baginya berarti mengakui secara terbuka bahwa ia telah kalah dalam perebutan kekuasaan, sesuatu yang ditolak oleh egonya.
Para ulama tafsir menekankan bahwa 'penguncian hati' yang disebutkan dalam Al-Qur'an (seperti dalam Surah At-Tawbah) terjadi karena pilihan sadar dan berulang kali untuk menolak kebenaran. Dalam kasus Bin Ubay, setiap kali kebenaran ditunjukkan kepadanya, ia merespons dengan sumpah palsu dan peningkatan intrik, sehingga mengeraskan hatinya sendiri hingga tidak ada jalan kembali.
Bahkan di ranjang kematiannya, putranya, Abdullah, berjuang keras untuk mendapatkan pengampunan bagi ayahnya. Upaya Nabi untuk salat jenazah adalah kesempatan terakhir yang luar biasa dari rahmat Ilahi yang ditawarkan melalui putranya. Namun, karena tidak ada penyesalan sejati dalam hati Bin Ubay hingga akhir hayatnya, rahmat tersebut ditolak oleh kehendak Ilahi, sebagaimana dikonfirmasi oleh Surah At-Tawbah 9:84.
Abdullah bin Ubay tidak beroperasi sendirian. Ia adalah pusat dari sebuah faksi yang terdiri dari orang-orang Khazraj yang tidak puas, serta orang-orang baru yang imannya lemah (da’if al-iman). Peran para pengikutnya sangat penting dalam menyebarkan fitnah dan desersi. Mereka termasuk Jadd bin Qays dan Mu’attab bin Qushair, yang sering menjadi perwakilan Bin Ubay dalam menyuarakan keraguan dan menolak seruan untuk berjihad.
Faksi ini menunjukkan bahwa kemunafikan adalah penyakit sosial, bukan hanya masalah individu. Ia hidup dan berkembang dalam jaringan dukungan yang memungkinkan Bin Ubay untuk bersembunyi di balik suara kolektif dan menyalahkan orang lain ketika situasinya memburuk.
Nabi Muhammad ﷺ menghadapi dilema yang konstan: bagaimana memperlakukan warga negara yang secara teknis adalah Muslim tetapi secara moral adalah pengkhianat? Kebijakan kenabian (hingga wahyu akhir yang melarang salat jenazah) adalah toleransi politik dan hukuman sosial, bukan eksekusi fisik. Ini dilakukan untuk:
Dengan membiarkan Bin Ubay hidup, Nabi membiarkan penyakitnya terlihat. Setiap tindakannya yang buruk disaksikan, dan setiap kali ia gagal (seperti pada Bani Nadhir), pengikutnya semakin kehilangan kepercayaan padanya, yang secara perlahan membubarkan faksi munafik secara alami tanpa pertumpahan darah internal.
Seluruh kisah Abdullah bin Ubay adalah pelajaran tentang perbedaan antara hukum duniawi dan hukuman ilahi. Secara duniawi, Bin Ubay tidak pernah dihukum mati atau dipenjara oleh Nabi ﷺ karena kurangnya bukti yang secara hukum memungkinkan tindakan tersebut (ia selalu dapat bersumpah dan menyatakan Islam). Namun, hukuman spiritual yang diberikan Al-Qur'an kepadanya sangatlah keras.
Hukuman terberat dijelaskan dalam Surah An-Nisa, menempatkan kaum Munafiqun di tingkatan terendah dari Neraka (Ad-Darkul Asfal minannar):
Peringatan ini menegaskan bahwa bahaya yang ditimbulkan Bin Ubay terhadap persatuan dan kemurnian iman jauh lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan oleh kafir yang beroposisi secara terbuka. Kafir luar hanya dapat menyerang tubuh komunitas, tetapi Munafik menyerang jiwanya.
Sumpah Abdullah bin Ubay adalah perisai yang menyembunyikan rencana pengkhianatan.
Kisah Abdullah bin Ubay bin Salul adalah kronik abadi tentang bagaimana ambisi pribadi yang terdistorsi oleh ego dan dendam dapat mengubah seseorang menjadi musuh yang jauh lebih licik daripada yang memerangi secara terbuka. Ia adalah simbol keengganan untuk tunduk pada kebenaran yang melampaui kepentingan suku dan politik.
Meskipun Bin Ubay menghabiskan tahun-tahun terakhirnya untuk mencoba meruntuhkan komunitas Muslim dari dalam, warisannya adalah ironi sejarah. Kehadirannya memaksa Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat untuk mengembangkan kebijaksanaan politik dan sosial yang mendalam. Yang lebih penting, tindakannya secara langsung memicu penurunan wahyu Ilahi yang secara permanen mengajarkan umat Islam untuk mengenali dan melindungi diri dari kemunafikan.
Dengan wafatnya Abdullah bin Ubay, masalah kemunafikan struktural di Madinah mulai meredup. Komunitas Mukmin telah melalui cobaan api internal, dan mereka muncul lebih kuat, dipersatukan oleh panduan Al-Qur'an yang menjabarkan dengan jelas jalan para pengikut sejati dan jalan para penghianat berwajah ganda. Kisah Bin Ubay selamanya menjadi peringatan paling serius dalam sejarah Islam tentang bahaya musuh yang tersenyum di hadapan kita sambil menancapkan belati di belakang.
--- Artikel Selesai ---