Sebuah Kajian Tafsir, Fiqh, dan Hikmah untuk Memperoleh Kesempurnaan Ibadah
Simbol keagungan petunjuk ilahi dan waktu pelaksanaan ibadah puasa.
Ibadah puasa (*shaum*) merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki kedudukan istimewa, bukan hanya sebagai ritual fisik, tetapi sebagai madrasah spiritual dan sosial. Hukum-hukum yang mengikat ibadah ini diuraikan secara rinci dalam Al-Qur'an, memberikan panduan yang jelas mengenai kewajiban, pengecualian, serta tujuan tertinggi di baliknya. Memahami ayat-ayat ini secara mendalam adalah kunci untuk mengoptimalkan ibadah, mengubahnya dari sekadar menahan lapar dan dahaga menjadi sarana transformasi jiwa menuju derajat *taqwa*.
Artikel ini akan mengkaji sepuluh ayat Al-Qur'an yang fundamental, yang secara langsung maupun tidak langsung, meletakkan dasar hukum (fiqh) dan filosofi (hikmah) puasa. Setiap ayat akan dianalisis dari perspektif linguistik, konteks sejarah (*asbabun nuzul*), implikasi hukum, dan manfaat spiritualnya yang abadi, memastikan pemahaman kita terhadap ibadah ini kokoh dan menyeluruh.
Surah Al-Baqarah (2): Ayat 183
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Ayat ini adalah fondasi utama ibadah puasa Ramadan. Kata kunci yang paling penting adalah *kutiba* (كُتِبَ), yang berarti 'diwajibkan' atau 'ditetapkan'. Dalam terminologi syariah, ini setara dengan fardhu. Penggunaan bentuk pasif ini menggarisbawahi bahwa kewajiban ini datang langsung dari otoritas Ilahi yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat, dan merupakan ketetapan yang harus dipatuhi. Ayat ini memulai seruan dengan, "Wahai orang-orang yang beriman!"—menegaskan bahwa puasa adalah barometer keimanan; hanya mereka yang mengakui status iman yang sesungguhnya yang siap memikul beban (dan pahala) ini.
Bagian kedua ayat ini menjelaskan universalitas puasa: *“sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.”* Ini menunjukkan bahwa puasa bukan inovasi hukum yang eksklusif bagi umat Muhammad, melainkan tradisi spiritual kuno yang dipraktikkan oleh umat terdahulu (misalnya, puasa Nabi Musa, puasa dalam tradisi Kristen awal). Penekanan pada kesamaan ini memberikan penghiburan dan motivasi, menunjukkan bahwa tuntutan menahan diri adalah mekanisme universal untuk pertumbuhan spiritual manusia, menghubungkan umat Islam dengan garis sejarah kenabian yang panjang. Ini juga menandakan bahwa tantangan dalam berpuasa bukanlah hal yang baru atau mustahil.
Inti dari ayat ini terletak pada klausa tujuan: *“la’allakum tattaqūn”* (agar kamu bertakwa). Kata *taqwa* (takut dan patuh kepada Allah) merupakan hasil akhir yang diharapkan dari semua ibadah. Dalam konteks puasa, *taqwa* dicapai melalui tiga dimensi:
Para ulama tafsir kontemporer, seperti Syaikh Muhammad Abduh, menekankan bahwa *taqwa* yang dihasilkan puasa haruslah berupa transformasi permanen, bukan hanya temporer selama Ramadan. Jika seseorang berpuasa tetapi tidak meningkatkan etika, kejujuran, atau kepedulian sosialnya, maka tujuan inti dari ayat 183 belum tercapai. Puasa yang sempurna adalah puasa anggota tubuh (mata, telinga, lidah) dari maksiat, yang berpuncak pada ketundukan hati yang total. Analisis mendalam terhadap frasa *la’allakum tattaqūn* memastikan bahwa umat Islam memandang puasa bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai sarana penyucian diri yang efektif, sebuah proses pelatihan intensif yang akan membawa dampak positif sepanjang sebelas bulan berikutnya.
Surah Al-Baqarah (2): Ayat 184
أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"(Yaitu) beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu adalah lebih baik baginya. Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Ayat 184 memancarkan keindahan syariat Islam yang mengedepankan kemudahan dan keringanan (*taisir*). Ini membuka ruang dispensasi bagi dua golongan utama: orang sakit dan musafir. Dalam kasus ini, kewajiban berpuasa tidak dihapuskan, melainkan ditunda (*qadha’*) ke hari-hari lain di luar Ramadan. Prinsip ini memastikan bahwa ibadah tidak memberatkan hingga membahayakan kesehatan atau menghambat perjalanan yang sah.
Kondisi sakit di sini dijelaskan oleh ulama sebagai sakit yang jika berpuasa akan memperlambat kesembuhan atau memperburuk kondisi. Musafir adalah mereka yang sedang dalam perjalanan jauh dengan niat yang sah. Pilihan *qadha’* menunjukkan keadilan ilahi: seseorang yang kehilangan kesempatan beribadah karena alasan mendesak tetap diberi peluang untuk memenuhi kewajiban tersebut di waktu yang lebih lapang.
Bagian ayat mengenai *fidyah* (penebusan) sangat kompleks dan menjadi fokus perdebatan fiqhiyah yang panjang. Frasa kunci adalah: *wa ‘alā alladhīna yuṭīqūnahu* (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya). Secara literal, *yuṭīqūnahu* berarti 'mampu melakukannya'.
Pada masa awal Islam, sebagian ulama (seperti Ibnu Abbas) menafsirkan bahwa ayat ini memberikan pilihan antara berpuasa atau membayar *fidyah* bagi orang yang mampu berpuasa. Namun, setelah turunnya ayat 185 (yang mewajibkan puasa pada bulan Ramadan), tafsir ini diyakini telah *mansukh* (dihapus/diganti), menetapkan puasa sebagai kewajiban mutlak.
Konsensus ulama modern menetapkan bahwa ayat ini merujuk pada dua kategori orang yang tidak mungkin berpuasa atau mengqadha’:
Bagi kategori ini, keringanan mutlak diberikan dalam bentuk membayar *fidyah*—memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Ayat ini mengaitkan ibadah fisik dengan keadilan sosial, memastikan bahwa bahkan ketika seseorang tidak mampu beribadah, mereka dapat berkontribusi pada kemaslahatan umat. Penutup ayat, *“Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,”* memberikan penegasan spiritual, mengingatkan bahwa meskipun ada keringanan, menjalani ibadah secara langsung adalah yang paling utama, menegaskan bahwa nilai spiritual dari puasa itu sendiri jauh melampaui penggantinya.
Surah Al-Baqarah (2): Ayat 185 (Bagian Awal)
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ
"Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa."
Ayat 185 adalah ayat yang paling krusial karena secara eksplisit mengaitkan ibadah puasa dengan waktu spesifik: Bulan Ramadan. Penetapan waktu ini bukan kebetulan; Ramadan dipilih karena ia adalah bulan di mana Allah memilih untuk menurunkan petunjuk-Nya yang paling sempurna, Al-Qur’an, dari Lauh Mahfuz ke langit dunia, dan permulaan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Puasa, dengan segala bentuk pengekangan fisik dan spiritualnya, dimaksudkan untuk menciptakan kondisi spiritual yang optimal bagi seorang Muslim untuk menyambut dan menyerap petunjuk Ilahi.
Ketika tubuh dibersihkan dari kelebihan materi, jiwa menjadi lebih peka dan siap menerima cahaya Al-Qur’an. Puasa adalah proses detoksifikasi spiritual yang membuka saluran hati agar dapat memahami makna mendalam dari firman Allah. Hubungan ini menjelaskan mengapa Rasulullah SAW dan para sahabat meningkatkan interaksi dengan Al-Qur’an, termasuk memperbanyak tilawah dan tadarus, secara signifikan di bulan Ramadan.
Frasa *“Faman shahida minkumush-shahra falyashumhu”* (maka barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa) menegaskan kembali kewajiban puasa dengan mengaitkannya pada kehadiran fisik dan kesadaran akan masuknya bulan Ramadan (melalui rukyatul hilal atau perhitungan). Ini adalah penghapusan sisa-sisa pilihan (seperti yang mungkin disalahpahami dari interpretasi awal ayat 184). Setelah penetapan waktu, puasa menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu) bagi setiap Muslim yang mukim dan baligh.
Ayat ini juga memberikan definisi fungsi fundamental Al-Qur’an sebagai: 1) *Hudā* (petunjuk umum), 2) *Bayyināt* (penjelasan yang gamblang), dan 3) *Al-Furqān* (pembeda antara kebenaran dan kebatilan). Ketika seorang hamba berpuasa, ia secara praktis mengimplementasikan Al-Furqan dalam hidupnya, belajar membedakan antara keinginan nafsu dan tuntutan syariat, yang merupakan esensi dari ibadah itu sendiri. Puasa adalah latihan praktis memilah mana yang hak dan mana yang batil dalam dimensi perilaku sehari-hari.
Surah Al-Baqarah (2): Ayat 185 (Bagian Akhir)
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."
Pengulangan kembali aturan *qadha’* bagi orang sakit dan musafir pada ayat 185 memiliki makna penegasan dan penghiburan yang mendalam. Pengulangan ini diikuti dengan klausa fundamental: *“Yurīdu Allāhu bikumu al-yusr wa lā yurīdu bikumu al-‘usr”* (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu). Ini adalah prinsip utama dalam seluruh syariat Islam (*maqasid syariah*). Islam adalah agama yang praktis dan manusiawi; ia tidak menuntut sesuatu yang melebihi batas kemampuan manusia, terutama dalam kondisi darurat seperti sakit atau dalam kesulitan perjalanan.
Penegasan ini berfungsi sebagai landasan hukum bagi semua keringanan ibadah dalam Islam. Keringanan untuk berbuka bagi musafir atau orang sakit bukanlah ‘izin malas,’ melainkan perintah dari Allah. Jika seseorang memilih berpuasa dalam keadaan yang diizinkan untuk berbuka, dan ini membahayakan dirinya, ia justru melanggar kehendak Allah untuk kemudahan.
Tujuan akhir dari *qadha’* puasa ditekankan: *“walitukmilū al-‘iddah”* (dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya). Ini menekankan pentingnya disiplin dan tanggung jawab dalam memenuhi kuota 29 atau 30 hari puasa yang telah ditetapkan. Ibadah puasa adalah paket spiritual yang harus dipenuhi secara utuh.
Ayat ini ditutup dengan dua manifestasi akhir yang terkait erat dengan ibadah puasa dan *qadha’*: *Takbir* (mengagungkan Allah) dan *Syukur* (bersyukur). Takbir, yang sering diucapkan pada akhir Ramadan (Idul Fitri), adalah pengakuan atas kebesaran Allah yang telah memberikan petunjuk dan kemampuan untuk melaksanakan ibadah. *Syukur* adalah pengakuan bahwa puasa adalah anugerah, bukan beban. Puasa adalah metode yang diberikan Allah untuk membimbing hamba-Nya menuju kesempurnaan, dan karena itu, hamba harus bersyukur atas petunjuk tersebut. Inilah titik balik di mana seorang Muslim melihat kesulitan berpuasa sebagai nikmat, karena kesulitan itu membawa ganjaran dan peningkatan spiritual yang luar biasa.
Fokus pada kedekatan vertikal dan spiritualitas yang mendalam.
Surah Al-Baqarah (2): Ayat 187 (Bagian Awal)
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, lalu Dia mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu."
Ayat 187 diturunkan sebagai jawaban atas kesulitan yang dialami umat Islam pada fase awal penetapan puasa. Pada awalnya, puasa berlaku seperti dalam tradisi umat terdahulu, di mana larangan makan, minum, dan hubungan suami istri berlaku sejak setelah shalat Isya hingga terbenamnya matahari esok hari. Jika seseorang tidur sebelum sempat makan setelah Maghrib, dia harus melanjutkan puasanya hingga hari berikutnya.
Kondisi ini sangat memberatkan dan menyebabkan beberapa sahabat melanggar larangan tersebut, terutama yang berkaitan dengan hubungan suami istri di malam hari. Allah, melalui ayat ini, membatalkan hukum awal dan memberikan keringanan mutlak. Keringanan ini menunjukkan betapa Allah memperhatikan kondisi psikologis dan kebutuhan biologis manusia. Puasa adalah tentang pengekangan di siang hari, tetapi malam harus menjadi periode relaksasi dan pemenuhan kebutuhan yang halal.
Bagian paling indah dari ayat ini adalah metafora: *“Hunna libāsun lakum wa antum libāsun lahunn”* (Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka). Pakaian memiliki tiga fungsi utama: menutupi aib, melindungi, dan memperindah. Metafora ini menjelaskan hubungan pernikahan ideal: suami dan istri saling menutupi aib, melindungi satu sama lain dari dosa, dan menjadi sumber keindahan serta kenyamanan. Ketika puasa ditetapkan, potensi ketegangan dalam rumah tangga meningkat, tetapi Allah mengingatkan bahwa ikatan pernikahan harus tetap dipelihara dan dihormati di malam hari.
Frasa penutup, *“wabtughū mā kataba Allāhu lakum”* (dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu), diinterpretasikan oleh sebagian besar ulama sebagai dorongan untuk mencari keturunan melalui hubungan yang halal, atau secara lebih luas, mencari pahala dan keberkahan dari Allah melalui ketaatan terhadap perintah-Nya, termasuk kewajiban sahur, yang disebutkan di bagian selanjutnya dari ayat 187.
Surah Al-Baqarah (2): Ayat 187 (Bagian Tengah)
وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ
"Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam."
Ayat ini menetapkan batas waktu yang sangat spesifik untuk memulai puasa (imsak). Metafora *al-khayṭu al-abyaḍ* (benang putih) dan *al-khayṭu al-aswad* (benang hitam) adalah perumpamaan puitis yang sangat kuat. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa metafora ini merujuk pada pemisah yang jelas antara kegelapan malam (benang hitam) dan cahaya fajar shadiq yang muncul di cakrawala (benang putih).
Penjelasan ini bukan hanya penetapan waktu fiqih (mulai dari Shubuh), tetapi juga refleksi akan tuntutan syariat untuk ketelitian. Muslim dituntut untuk membedakan antara fajar kadzib (fajar palsu, cahaya vertikal yang sebentar menghilang) dan fajar shadiq (fajar sejati, cahaya horizontal yang menandai dimulainya waktu shalat Shubuh dan puasa). Perintah untuk makan dan minum hingga batas ini juga merupakan penegasan anjuran sahur, yang menurut hadis, mengandung keberkahan.
Bagian kedua ayat, *“thumma atimmū aṣ-ṣiyāma ilā al-layl”* (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam), menetapkan batas waktu berakhirnya puasa, yaitu ketika malam tiba (saat terbenamnya matahari/Maghrib). Ini menekankan bahwa puasa harus disempurnakan tanpa tergesa-gesa; tidak boleh berbuka sebelum yakin matahari telah terbenam. Perintah untuk menyempurnakan ini juga mengindikasikan bahwa puasa harus dilakukan secara menyeluruh dan totalitas, dari subuh hingga maghrib, tanpa melanggar batasan di tengah hari.
Penetapan batas waktu yang jelas ini menghilangkan keraguan, memudahkan pelaksanaan, dan memastikan bahwa ibadah puasa dilaksanakan sesuai standar yang ditetapkan, jauh dari tradisi-tradisi terdahulu yang mungkin tidak memiliki batasan waktu sejelas ini. Ini adalah bukti komitmen Islam terhadap metodologi yang terstruktur dan terukur dalam setiap praktik ibadah.
Surah Al-Baqarah (2): Ayat 187 (Bagian Akhir)
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
"Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah batas-batas (hukum) Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."
Ayat 187 ditutup dengan pembahasan tentang *I’tikaf* (berdiam diri di masjid dengan niat ibadah), sebuah praktik yang sangat ditekankan di sepuluh malam terakhir Ramadan. Poin hukum utama di sini adalah larangan melakukan hubungan suami istri secara mutlak selama I’tikaf, karena I’tikaf adalah waktu fokus ibadah yang ekstrem, di mana seseorang secara harfiah ‘memutuskan’ koneksi dengan urusan duniawi untuk mencari kedekatan spiritual dengan Allah.
Larangan ini, meskipun spesifik, berfungsi untuk mendefinisikan batas fisik dan spiritual I’tikaf. Lokasi harus di masjid—tempat yang suci dan khusus untuk ibadah. Melanggar larangan tersebut merusak I’tikaf, karena I’tikaf adalah upaya untuk meniru malaikat yang senantiasa beribadah tanpa terganggu kebutuhan fisik dan hawa nafsu. Ini adalah puncak dari latihan *taqwa* yang dimulai sejak awal Ramadan.
Frasa *“Tilka ḥudūdu Allāhi falā taqrabūhā”* (Itulah batas-batas (hukum) Allah, maka janganlah kamu mendekatinya) adalah peringatan keras yang relevan tidak hanya untuk I’tikaf tetapi untuk seluruh hukum puasa dan syariat. Allah tidak hanya melarang tindakan melanggar batas (misalnya, berbuat maksiat), tetapi melarang mendekati batas tersebut.
Konsep ‘tidak mendekati’ (*falā taqrabūhā*) adalah strategi pencegahan dalam hukum Islam (*sadd adh-dharā’i’*). Sebagai contoh, dalam puasa, perintahnya bukan hanya untuk tidak berbuat dusta, tetapi untuk menjaga lidah dari perkataan sia-sia, karena perkataan sia-sia adalah langkah awal menuju dusta. Ayat ini menggarisbawahi pentingnya kehati-hatian maksimal dalam menjaga hukum-hukum Allah, baik dalam ibadah puasa, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Penutup ayat kembali menekankan tujuan: *la’allahum yattaqūn* (agar mereka bertakwa), mengikat semua hukum puasa pada tujuan spiritual yang sama.
Surah Al-Ma’idah (5): Ayat 89
لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغْوِ فِىٓ أَيْمَٰنِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلْأَيْمَٰنَ ۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيْمَٰنِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَٱحْفَظُوٓا۟ أَيْمَٰنَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu bersyukur (terima kasih)."
Ayat ini penting karena menunjukkan bahwa puasa bukan hanya ibadah yang terikat waktu (Ramadan), tetapi juga berfungsi sebagai alat penebusan dosa (*kaffarah*) yang bersifat opsional dalam situasi tertentu. Dalam konteks sumpah yang dilanggar (*yamin*), syariat memberikan tiga pilihan utama secara berurutan: memberi makan 10 orang miskin, memberi pakaian, atau membebaskan budak.
Puasa selama tiga hari muncul sebagai opsi keempat, namun bukan sebagai pilihan utama, melainkan sebagai pengganti (*badal*) bagi mereka yang benar-benar tidak mampu melaksanakan tiga opsi utama tadi. Urutan ini menunjukkan bahwa Islam lebih mengutamakan solusi yang berdampak sosial (memberi makan/pakaian) daripada pengekangan fisik. Namun, ketika dimensi sosial tidak mungkin dipenuhi karena keterbatasan ekonomi, pengekangan spiritual (puasa) menjadi pengganti yang sah.
Puasa, dalam konteks kaffarah sumpah, berfungsi sebagai mekanisme disiplin diri. Sumpah adalah perjanjian yang sangat serius dengan Allah, dan melanggarnya adalah dosa. Dengan mewajibkan puasa, syariat memaksa individu yang melanggar sumpahnya untuk merasakan kesulitan fisik, yang diharapkan akan menjadi pengingat permanen tentang pentingnya menjaga lisan dan memegang teguh janji. Puasa tiga hari di sini melambangkan penyesalan yang mendalam, sekaligus membersihkan dosa akibat ketidakhati-hatian dalam bertutur kata. Ayat ini memperluas makna puasa: ia adalah alat penyucian diri dari kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan di luar bulan Ramadan.
Surah An-Nisa (4): Ayat 92 (Bagian Tengah)
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُوا۟ ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍۭ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَٰقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
"Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (lainnya) kecuali karena tersalah (tidak sengaja), maka (wajib) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah (membebaskan). Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, sedang ia mukmin, maka (wajib) si pembunuh memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (wajib) si pembunuh membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut. Itulah cara tobat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
Ayat 92 dari Surah An-Nisa menetapkan hukuman dan penebusan bagi pembunuhan yang tidak disengaja. Hukuman utamanya mencakup dimensi sosial (pembayaran *Diyat* kepada keluarga korban) dan dimensi spiritual (memerdekakan budak). Namun, jika seseorang tidak mampu memerdekakan budak, kewajiban penebusan beralih kepada puasa yang sangat berat: **dua bulan berturut-turut (*ṣiyāmu shahrayni mutataābi‘ayn*)**.
Kewajiban puasa selama dua bulan tanpa terputus ini merupakan bentuk *tawbah* (pertobatan) yang ditetapkan langsung oleh Allah. Beratnya puasa ini—baik dari segi durasi maupun tuntutan kontinuitas—merefleksikan besarnya kesalahan (mengambil nyawa, meskipun tak sengaja). Puasa di sini menjadi proses penyiksaan diri yang diizinkan syariat, memaksa jiwa pelaku untuk merenungkan keagungan nyawa manusia dan kesalahan besar yang telah diperbuat. Gagal berpuasa satu hari tanpa alasan yang sah akan membatalkan seluruh periode dan mengharuskan pelaku untuk memulai kembali dari awal.
Ayat ini menunjukkan prinsip keseimbangan (mizan) dalam syariat. Ketika dimensi sosial dan materi (diat dan pembebasan budak) tidak dapat dipenuhi, dimensi spiritual dan pengorbanan pribadi harus dimaksimalkan melalui puasa yang intensif. Puasa selama 60 hari berturut-turut adalah ujian keimanan yang ekstrem, memastikan bahwa pertobatan itu tulus, datang dari kedalaman hati, dan berdampak pada seluruh gaya hidup pelaku selama periode tersebut. Ini adalah bukti bahwa puasa adalah mekanisme pemurnian diri yang paling ampuh dan serius dalam sistem hukum Islam.
Surah Al-Ma’idah (5): Ayat 95 (Bagian Akhir)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْتُلُوا۟ ٱلصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُۥ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ ٱلنَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِۦ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًۢا بَٰلِغَ ٱلْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّٰرَةٌ طَعَامُ مَسَٰكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِۦ ۗ عَفَا ٱللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۗ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ ٱللَّهُ مِنْهُ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ ذُو ٱنتِقَامٍ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut ketetapan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka'bah atau membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa yang seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa."
Ayat ini mengatur salah satu larangan paling ketat saat seseorang berada dalam keadaan *ihram* (ritual haji atau umrah): larangan berburu. Jika larangan ini dilanggar, wajib ada *fidyah* atau *kaffarah*. Sekali lagi, puasa muncul sebagai opsi penebusan. Tiga pilihan penebusan diberikan:
Di sini, puasa tidak memiliki jumlah hari tetap (seperti 3 hari atau 60 hari), melainkan disesuaikan berdasarkan nilai ekonomi kerugian yang ditimbulkan. Jika nilai buruan setara dengan 30 porsi makanan miskin, maka harus berpuasa 30 hari.
Tujuan dari puasa sebagai kaffarah ditegaskan secara eksplisit: *“liyadhuqa wabāla amrihi”* (supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya). Frasa ini sangat kuat. Ini bukan hanya hukuman, melainkan pendidikan karakter. Puasa berfungsi sebagai penanda penderitaan atau kesulitan yang disengaja, mengikat rasa sakit fisik dengan rasa penyesalan atas pelanggaran yang dilakukan dalam keadaan ihram.
Ayat ini mengukuhkan bahwa puasa adalah alat disiplin yang fleksibel dan integral dalam sistem hukum Islam. Ia digunakan untuk memurnikan jiwa dari dosa, baik dosa yang terkait dengan kewajiban primer (Ramadan) maupun dosa yang terkait dengan pelanggaran ritual (sumpah, ihram, atau kesalahan besar lainnya). Puasa, dengan sifatnya yang melelahkan dan menuntut kesabaran, memastikan pelaku benar-benar merasakan dan memahami konsekuensi dari tindakan mereka, sehingga mereka akan lebih berhati-hati di masa depan.
Dari kajian mendalam terhadap sepuluh ayat fundamental ini, terlihat jelas bahwa ibadah puasa jauh melampaui ritual menahan diri dari makan dan minum. Ayat-ayat dalam Al-Baqarah menetapkan puasa sebagai kewajiban tahunan yang terstruktur, berfokus pada pelatihan *taqwa* dan disandingkan dengan kemuliaan turunnya Al-Qur'an. Ini adalah periode intensif untuk pembersihan diri, di mana Allah mengikat praktik spiritual dengan petunjuk yang jelas, mengedepankan prinsip kemudahan (*al-yusr*), dan menuntut penyempurnaan bilangan sebagai bentuk syukur.
Di sisi lain, ayat-ayat dari An-Nisa, Al-Ma’idah, dan lainnya, menunjukkan peran puasa sebagai mekanisme hukum dan moral: sebagai penebusan (*kaffarah*) yang menggantikan kewajiban materi atau sosial yang tidak terpenuhi. Baik untuk pelanggaran sumpah, pembunuhan tak sengaja, maupun pelanggaran ihram, puasa menjadi sanksi spiritual yang memaksa individu untuk merasakan dampak dari kesalahan mereka, mendorong pertobatan tulus, dan menanamkan disiplin yang kekal.
Secara keseluruhan, 10 ayat tentang puasa ini membentuk kerangka holistik yang tak terpisahkan: kewajiban ditetapkan, pengecualian diberikan, batasan waktu diuraikan, etika sosial diintegrasikan, dan fungsi puasa diperluas sebagai alat pertobatan dan disiplin diri. Tujuan akhirnya tetap sama di setiap konteks: menuju pribadi yang bertaqwa, yang tidak hanya patuh pada perintah, tetapi juga mampu mengelola hawa nafsunya, menghormati janji, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Ibadah puasa adalah undangan agung menuju pembersihan total, baik secara fisik, moral, maupun spiritual, yang hasilnya diharapkan dapat bertahan lama setelah bulan suci berlalu.